21 : Anymore

3.8K 364 29
                                    

Sudah tiga hari aku tidak menggubris pesan yang dikirim oleh Abian. Selama aku tidak membalas pesan dari Abian, dia tidak menggangguku dengan membombardir telepon atau pesan. Sepertinya dia sengaja memberiku waktu setelah pertemuan terakhir kami. Sebenarnya hati kecilku merasa sedikit rindu, tetapi rasa kecewaku yang sudah tertimbun lama lebih besar dibanding perasaan rindu.

"Kenapa melamun? Pekerjaan terlalu berat atau lagi mikirin saya?"

Wildan menepuk pelan bahuku sembari memamerkan senyum yang sejujurnya akan membuat hampir seluruh wanita terpesona, tetapi entah kenapa hari ini jantungku tidak berdebar ketika melihat senyum itu.

"Kalau soal pekerjaan, jangan terlalu dipikirkan. Kita pelan-pelan saja, lagi pula sesuatu yang terburu-buru juga tidak begitu baik." ujar Wildan yang mendudukan tubuhnya di sebelah kursiku.

Aku menganggukan kepalaku menyetujui ucapan Wildan, "Saya setuju sih Pak..."

Setelah mendengar responsku, Wildan kemudian menyimpulkan "Jadi bukan pekerjaan yang membuat wajah kamu merengut?"

Aku tidak menyangkal ucapan Wildan melainkan berusaha mengalihkan topik pembicaraan, "Bapak kok tahu saya ada di sini?"

Wildan mengangkat salah satu alisnya, "Kamu jangan pernah meremehkan feeling bapak-bapak ya."

Berkat gurauan Wildan, perasaanku menjadi lebih baik. "Bapak sudah pesan makan?"

Wildan menaruh punggung tangan kanannya ke dahiku, "Kamu enggak demam kan? Kenapa pucat sekali? Kalau bukan pekerjaan, tidak mungkin karena terlalu memikirkan saya kan?"

Aku meraih pergelangan tangan Wildan agar menjauhi wajahku, "Sembarangan pegang-pegang, nanti jerawatan!"

Wildan tersenyum melihat reaksiku, "Jadi karena apa? Karena saya terlalu tampan atau karena banyak wanita yang mendekati saya?"

Aku tidak berniat menanggapi ucapan Wildan yang terlalu percaya diri itu.

"Ternyata bukan karena saya."

"I'm totally fine..." jawabku karena tak tega melihat raut wajah khawatir Wildan.

"No, you're lying."

"Saya lagi banyak pikiran aja Pak, enggak penting-penting banget kok."

"Abian?"

Aku tersentak mendengar nama yang ingin aku lupakan sedari tadi itu disebut, "Enggak kok."

Wildan yang entah sejak kapan berubah menjadi pakar ekspresi pun berbisik, "Pria yang buat wajah kamu jadi jelek ada di meja kedua sebelah kiri. Dari tadi dia perhatiin kamu."

Aku langsung menoleh ke arah kiri setelah mendengar ucapan Wildan, "Kamu bohong?"

"Ternyata benar Abian yang membuat kamu melamun." ledek Wildan.

Aku berkilah meskipun sudah tertangkap basah, "Jangan sok tahu."

"Saya tidak bohong, Abian memang ada di sini, tetapi empat meja di belakang kita."

Aku dan Wildan memang sedang berada di salah satu kafe yang dekat dengan beberapa rumah sakit mitra perusahaan.

Aku tidak meladeni ucapan Wildan yang sudah pasti berbohong. Aku menyesap matcha latte yang sudah sisa setengah cangkir.

"Saya serius, enggak bohong. Sebelum saya sampai di sini, dia sudah ada di sana memperhatikan kamu." ucap Wildan.

Aku berusaha mempercayai ucapan Wildan dan menengok ke arah belakang, mataku sempat beradu pandang dengan sepasang mata milik pria yang berhasil membuat kacau perasaanku akhir-akhir ini. Wildan tidak berbohong, Abian sedang duduk manis di meja yang terletak di belakang tempat dudukku.

My Impressive PartnerWhere stories live. Discover now