20 : Kerja Sama

5.1K 513 40
                                    

Hari ini aku ke rumah sakit Abian membahas mengenai beberapa kontrak yang harus diperbincangkan terkait alat kesehatan. Wildan mempercayakan hal tersebut kepadaku mengingat latar belakang pendidikan yang sempat aku tempuh juga mempelajari terkait kontrak dan perjanjian kerja sama. 

Wildan juga tak kalah sibuk dariku, dia tidak henti-hentinya rapat dengan beberapa klien potensial. Kami memang memanfaatkan waktu dengan baik selama di Indonesia untuk membangun relasi.

"Wanda, apa kabar?"

Pria itu menyapaku dengan senyum yang bagiku candu. Aku menepuk pipi sebelah kananku dengan agak kencang guna mengembalikan kewarasanku.

"Kamu satu tahun belakangan sering ziarah dan membersihkan makam ayahku?"

Sewaktu aku pergi berkunjung ke makam ayahku, penjaga makam memberitahuku bahwa ada satu pria yang sering datang kemari untuk sekadar membersihkan makam atau memberi salam.

Abian tersenyum tipis, "Tidak sesering itu."

"Abian, mau kamu apa?"

"Saya ingin menebus satu tahun yang sudah saya rusak."

"Enggak perlu."

"Kamu sampai kapan di Indonesia?" tanya Abian.

Aku mengangkat bahuku, "Lagipula bukan urusan kamu."

Raut wajah Abian nampak benar-benar lesu, "Kamu mau lihat Jihan?"

Aku mengernyitkan dahiku, "Kamu sudah gila? Untuk apa saya lihat bayi kamu."

Aku memang tidak mengerti jalan pikiran Abian, tapi kali ini aku benar-benar tidak mengerti isi otak Abian. Dia tidak peka atau bagaimana?

Aku menghembuskan nafasku dengan cukup berat, "Kamu benar-benar tidak waras, Abian."

Abian menarik pergelangan tangan kananku dengan lembut, "Sebentar saja."

Saat ini sedang terjadi pertempuran sengit antara otak dan hatiku. Otakku memberi perintah kepada tubuhku untuk menghentikan langkahku, jangan sampai terperdaya oleh Abian. Namun di sisi lain, tubuhku tidak bisa menerima sinyal dari otakku sebab tubuhku menyukai sentuhan dan keberadaan Abian.

Abian menuntunku memasuki poli anak, seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit ini nampak sangat menghormati Abian. Aku tidak melihat tatapan segan dari pegawai-pegawai rumah sakit, tetapi entah bagaimana tatapan tersebut mengarah ke tatapan kagum. Beberapa orang tua yang sedang mengantri di poli anak pun acap kali menyapa Abian dengan senyuman ramah.

"Mas Dokter, ini istrinya ya? Cantik sekali..." ujar wanita yang mungkin saat ini berada di kepala tiga, lingkaran mata dari wanita ini benar-benar memprihatinkan.

"Masih calon, Bu Novia. Anaknya bagaimana Bu?" tanya Abian dengan senyuman ramah.

"Iya Dok, untungnya sudah tidak perlu rawat inap lagi. Terima kasih banyak ya dok."

"Kenapa masih calon mbak? Mas Abian ini malaikat loh. Jangan disia-siakan pria baik seperti ini, Mbak." ujar wanita bernama Novia itu sembari menggandeng tangan mungil anak laki-laki.

"Malaikat?" tanyaku yang sebenarnya memang penasaran dengan tatapan kagum dan pujian dari orang-orang di rumah sakit ini terhadap Abian.

"Iya, Mbak. Mas Abian ini sponsor yang membantu orang-orang tidak mampu seperti saya dalam pengobatan di rumah sakit. Lansia sampai anak-anak dibantu sama Mas Abian atas nama pribadi." jelas Novia dengan mata berkaca-kaca. Seingatku juga rumah sakit ini memang belum bekerja sama dengan pemerintah terkait asuransi kesehatan gratis. Aku memang pernah kalau rumah sakit Abian didukung oleh yayasan-yayasan mumpuni yang bergerak di bidang kesehatan.

Aku menatap Abian tidak percaya, sebenarnya apa yang sudah ia lalui sehingga perubahan selama satu tahun terasa sangat mencolok. Setelah sedikit berbincang dengan beberapa orang yang kami jumpai di sela-sela perjalanan, akhirnya Abian menghentikan langkah kakinya di depan pintu dengan papan nama PICU (Pediatric Intensive Care Unit). Setahuku PICU adalah ruang perawatan intensif di rumah sakit, bagi anak dengan gangguan kesehatan serius atau yang berada dalam kondisi kritis.

Siapa yang sakit dan siapa yang harus kutemui di ruangan ini?

"Ini Jihan?" tanyaku dengan nada yang sangat pelan.

Abian menganggukan kepalanya, "Kelainan jantung bawaan."

Aku menatap nanar paras bayi perempuan yang sangat cantik itu dengan beberapa alat yang menempel di tubuh ringkihnya.

"Kenapa?"

"Ayahnya juga punya penyakit jantung, meninggal sebelum mengetahui kehamilan Dina yang saat itu sudah masuk dua minggu."

Anak ini menanggung banyak sekali penderitaan bahkan sebelum kelahirannya. Parasnya sangat teduh.

"Kita bicara di luar." ujar Abian.

"Saya sebenarnya ragu mau menjelaskan hal ini kepada kamu atau tidak, tetapi saya pikir kamu pantas untuk tahu. Saya tidak memilih Dina karena menyayangi dia, saya sungguh hanya menganggap Dina sebagai perempuan yang ingin saya ucapkan terima kasih. Satu minggu sebelum ayah kamu berpulang, Dina terus mencari pertolongan kepada saya untuk melindungi calon bayi yang berada di dalam kandungannya saat itu. Dina baru saja kehilangan ayah Jihan saat itu dan dia juga baru tahu kalau dia mengidap penyakit mematikan."

Abian memberi sedikit jeda sebelum melanjutkan ucapannya. "Saya tahu kamu paham Dina itu seperti apa, keluarganya menganggap dia aib sedangkan pria yang menghamilinya berasal dari keluarga brengsek. Tidak ada yang menginginkan Jihan untuk hidup. Segala cara sudah dilakukan Dina untuk menggugurkan Jihan, tetapi dia masih bertahan. Permintaan terakhir Dina saat itu dia hanya ingin Jihan hidup dengan baik, meskipun nyawanya menjadi taruhan."

"Saya sudah bilang sebelumnya kan kalau dia tidak mau menjalani perawatan selama mengandung Jihan?" 

"Saat itu saya ingin menjelaskan kondisi ini kepada kamu, Wanda. Namun, saya tahu saat itu mental kamu sudah sangat hancur. Saya bukan tidak mencari kamu selama satu tahun belakangan, tetapi saya harus bolak-balik ke luar negeri demi kesembuhan Jihan. Saya juga saat itu sedang disibukkan dengan urusan rumah sakit, Wanda."

"Mau sampai kapan kamu menjadi orang sok baik, Abian? Mau sampai kapan?" ujarku dengan nada agak tinggi.

"Maaf Wanda, saya sangat menyesal kala itu tidak berdiskusi dengan kamu. Saya tidak seharusnya membiarkan kamu berjuang sendirian."

Setelah aku mencoba mencari ingatanku di satu tahun yang lalu, aku memang sempat dibuat kebingungan karena setiap pukul tujuh pagi, dua belas siang, dan tujuh malam selalu ada makanan di depan pintu rumahku tanpa ada orang yang muncul. Beberapa kali Mamanya Abian juga sering mengunjungi rumahku.

"Kamu tetap saja salah Abian, kamu seharusnya menanyakan pendapat saya."

"Saya tahu dan saya sangat menyesal."

Aku melirik arloji di tangan kananku, "Saya ada janji dengan klien lain, saya duluan."

"Mau diantar?" tawar Abian.

Aku menggelengkan kepalaku, "Enggak perlu, saya bisa sendiri."








My Impressive PartnerTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon