38 | Thirty Eight

7.7K 775 74
                                    

     Harinya tiba. 

     Jeneva mengamati pintu besar di hadapannya. Hanya tersisa dua menit lagi hingga pintu ini terbuka dan ia akan berjalan ke altar untuk mengikat janji bersama Oliver. Ia tidak menyangka bahwa pernikahannya benar-benar terjadi. Menikah bersama pria yang ia hindari dengan perban menutup luka di tangan dan pahanya dan pulang dari rumah sakit sehari sebelum hari besarnya bukanlah pernikahan yang ada di bayangannya selama ini. Namun, tidak ada pilihan lain. 

     Napas Jeneva tertahan saat pintu besar itu dibuka. Seluruh orang di dalam ruangan telah berdiri dengan mata yang tertuju padanya. Termasuk seorang pria berbalut Canali hitam yang menunggu di depan altar dan kini menatapnya tanpa melewatkan satu kedipan. 

    Jeneva meneguk ludahnya. Perlahan Jeneva melangkah dan matanya tidak bisa lepas dari Oliver yang tersenyum kecil padanya dan terlihat luar biasa tampan. Detak jantung wanita itu semakin tidak karuan saat ia sampai di altar dan melihat Oliver dalam jarak yang dekat. Ia berusaha menghindari tatapan Oliver, namun wangi pria itu terlalu memabukkan sehingga pipinya tetap bersemu merah. 

    Kedua mata Jeneva akhirnya menatap Oliver ketika mereka harus mengucap janji nikah. Oliver meraih tangannya lalu tersenyum dan berbisik sangat pelan, "You're taking my breath away, Jeneva."

    Jeneva tersenyum. "Thank you."

    Kemudian Oliver mengucapkan janji nikahnya, diikuti Jeneva. Wanita itu tidak lagi bisa merasakan kakinya karena selama mereka mengucap janji nikah itu, Oliver tidak berpaling dan hanya menatapnya dalam. Bahkan saat mereka bertukar cincin, Oliver masih setia menatapnya hingga Jeneva berbisik, "Jangan lihatin aku terus."    

    Senyum Oliver melebar dan pria itu melirik bibir Jeneva. Pemberkatan sudah hampir selesai dan Oliver telah diizinkan untuk mengecup bibir istrinya. Jeneva baru saja ingin berbicara sesuatu, tetapi Oliver menarik pinggangnya sehingga wanita itu terkesiap.

    "Let me," bisik Oliver, membuat Jeneva tidak bisa lagi mengelak dan menutup kedua matanya.

    Pada saat itu juga, Oliver menutup bibir Jeneva bibirnya. Pria itu mencium Jeneva dalam lalu tersenyum seusai mengakhiri ciumannya. Tepuk tangan para hadirin meramaikan ruangan, tetapi yang bisa Jeneva dengar hanyalah degup jantungnya yang begitu kencang. 

    "Take a chance with me, Jeneva Asvathama."

***

     Terima kasih kepada durasi resepsi yang tidak panjang, pernikahan Jeneva dan Oliver dapat berakhir dengan cepat. Orang tua mereka masih ingin berkumpul bersama, tetapi Oliver meminta izin pulang lebih dulu bersama Jeneva karena tidak mau istrinya itu kelelahan. Jadi, sekarang Oliver dan Jeneva bisa pulang ke penthouse Oliver di bawah jam sembilan malam.

    "Selamat datang, Tuan dan Nyonya."

    Kedua mata Jeneva melebar melihat Mada menyambutnya di depan pintu penthouse dan menyebutnya dengan panggilan 'nyonya'. Oliver yang menarik dua Rimowa besar berwarna pink mengangguk dan berjalan masuk ke dalam penthouse-nya, sedangkan Jeneva masih berdiri di pintu.

    "Hai, Pak Mada," sapa Jeneva yang sudah diberitahu Oliver bahwa ART-nya—tidak, ralat—ART mereka bernama Mada. "Pak Mada memang manggilnya Tuan dan Nyonya?"

    Mada tersenyum dan mengangguk sopan. "Iya, Nyonya. Di keluarga Asvathama sudah SOP-nya begitu, walau dulu Tuan Oliver sebelum nikah maunya dipanggil 'Pak' saja."

   Jeneva berdecak lalu mengajak Mada masuk sambil berkata, "Panggilnya Mas dan Mbak aja, gimana? Oliver dan saya terlalu tua kalau dipanggil Bapak dan Ibu, apalagi Tuan dan Nyonya."

Ride Off Into Your Sunset | The Golden Shelf #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang