18 | Eighteen

7.1K 1K 34
                                    

         "Jeneva, bookmark your calendar, supaya kamu nggak bisa menghindar pakai alasan sok-sok sibuk lagi. This time you listen to me. Minggu depan kamu harus ikut Mama ke rumah Tante Dian."

         Maya Andrian menatap Jeneva yang ingin berangkat ke toko dan sedang mengikat tali di Keds putihnya. Maya tidak lagi meminta Jeneva untuk datang bersamanya, tetapi memberikan sebuah perintah yang harus dituruti. Namun, lagi-lagi Jeneva membantahnya.

         "Nggak mau, Ma," jawab Jeneva tanpa ragu. Tidak mungkin ia mau pergi ke rumah Asvathama lagi. 

         "Kamu mau Adam kamu itu balas email kamu? Kamu harus nurut dulu sama Mama," Maya berkata dan membuat Jeneva terbelalak saat itu juga. 

         "What did you do?" tanya Jeneva dengan tinggi. 

        Jeneva bangkit dari kursi dan berdiri di depan ibunya. Wanita itu begitu terkejut dan sangat marah ketika menatap Maya. Ia tidak percaya bahwa Maya benar-benar bisa menyingkirkan Adam. 

         "Mama melakukan apa yang seharusnya Mama lakukan dari dulu," jawab Maya datar. 

         "Apa? Mama membayar Adam? He won't take your mone-"

         Maya tertawa sehingga Jeneva terdiam. "Kamu ini naif banget sih, Jen."

          "He did?" cicit Jeneva pelan. Ibunya menyogok Adam dan pria itu menerima? Jeneva sulit mencerna itu semua. 

         Kemudian Maya hanya tersenyum dan menepuk pundak Jeneva sebelum beranjak keluar dari rumah, menyisakan Jeneva yang masih terkejut sendirian. Kamu meninggalkan aku, Dam?

***

          "Kalau Mama minta aku datang ke sini cuma untuk menyuruh aku ikut tender Papa, I'm not changing my mind."

          Chandara di Plaza Senayan begitu ramai siang itu dan dipenuhi oleh orang yang sedang berbincang-bincang sambil menebar senyuman. Namun, Oliver tidak. Pria itu memandangi Dian yang duduk di seberangnya dengan serius sehingga Dian bisa mengerti kalau Oliver akan marah jika ia membicarakan Charis. 

          "Sok tahu banget sih kamu, Ver. Orang Mama mau makan siang doang sama anak Mama. Selama ini kan kamu selalu sibuk, waktu kamu nggak ada buat Mama. Kalau Ganesh masih sering--" Dian berhenti berbicara karena ia menyadari ia akan kembali membandingkan Ganesh di depan Oliver.

          Oliver mengangkat sebelah alisnya dan tertawa kecil. "Kenapa berhenti, Ma? Mama mau bilang Ganesh masih sering ngajak Mama brunch, lunch, atau dinner? Just say it, I'll be fine."

          "Nggak." Dian menggelengkan kepalanya lalu mengalihkan topik, "Mama tahu dia datangin kamu kemarin dan Mama udah marahin dia."

          "You didn't have to. Mama harusnya marahin aku karena aku selalu nggak sesuai sama apa yang Papa dan Mama mau," balas Oliver. 

          Dian mengernyitkan dahinya. "Loh, kenapa jadi Mama juga?"

          "Ayolah, Ma. Ganesh tahu dan aku juga tahu kalau Mama yang minta Papa untuk buat tender itu karena Mama tahu aku bakal minta keluar dan Papa bisa suruh aku menikah. Tender dan berita gay cuma pelengkap aja."

          "That's how you see it?" tanya Dian tidak percaya.

          Oliver mendengus. "Now you sound like Ganesh."

          Sejenak Dian mengamati anaknya. Orang bisa berkata bahwa Oliver terlihat sangat tampan, sangat pintar, sangat mapan, atau sangat yang baik lainnya. Namun, bagi Dian, Oliver hanyalah Oliver yang sangat pahit kepada semua keluarganya. Semua kepahitan Oliver berawal dari Charis yang selalu pilih kasih dan sekarang kepahitan itu telah menyebar ke mana-mana termasuk ibu dan adiknya. 

          "Mama selalu berusaha untuk bisa mengerti kamu, Kak, dan Mama minta maaf kalau Mama belum sesuai keinginan kamu. Truth is, memang Mama yang menyuruh Papa untuk buat tender itu, tapi bukan untuk menyuruh kamu menikah. I have my own way to get you married."

          "Terus untuk apa Papa buat tendernya?"

          Dian tersenyum penuh arti. "Because he cares about you, Oliver."

          Ucapan Dian terdengar sangat bodoh di telinga Oliver sehingga pria itu langsung tertawa. Pria itu menyipitkan matanya dan berkata, "What is this? The biggest lie on the twenty first century? Mama kalau mau bohong coba pikir-pikir yang lain deh."

           "Nggak perlu pikir-pikir yang lain karena Mama memang nggak bohong. Papa sendiri yang bilang ke Mama. Kalau kamu penasaran kenapa Papa bilang kayak gitu, coba aja kamu ikut tendernya biar kamu cari tahu sendiri," jawab Dian dengan santai sebelum meneguk tehnya.  

          Oliver berdecak dan menatap ibunya malas. Jelas saja ia tidak percaya. Ini hanya akal-akalan Dian supaya Oliver tergerak untuk mengikuti tender ayahnya. Selama dua puluh sembilan tahun Oliver hidup, bisa ia hitung kapan Charis peduli kepadanya dan kali ini, tender Charis tidak termasuk ke dalam hitungan.

          "Aku udah bilang, Ma. Aku nggak jadi ikut. Now close this lunch because I won't talk about this tender conversation any further," kata Oliver.

          Dian sekali lagi tersenyum. "This lunch is not closed."

          "Aku udah bilang aku nggak mau--"

          "Siapa bilang kita mau ngomongin tender? Mama nggak bawa-bawa tender loh ya awalnya. Justru kamu yang baru datang terus langsung nuduh Mama," balas Dian.

          "Terus ngapain? Mama mau suruh aku nikah lagi?"

          Dian mengangguk jujur. "Iya."

          "Ma, have a nice day," ucap Oliver lalu bergerak berdiri, namun Dian menariknya kembali duduk. 

          "Oliver tunggu. Orangnya udah mau sampai," Dian memelototi Oliver seperti anak TK yang ingin kabur dari kelas.

          Oliver mengerang. "Ma, yang benar aja. You set me a blind date?"

          "Bukan, Oliver. Ih, makanya diem dulu," kata Dian gemas. "Kamu nurut aja sama Mama."

          "Fine, I would. Tapi Mama tahu kan akhirnya aku pasti nolak?" Oliver meyakinkan ibunya sambil mengangkat kedua alisnya. 

          Dian menyeruput tehnya lagi dengan tenang. "Kamu nggak akan nolak yang satu ini, Oliver."

          "Mama udah lupa aku tolak semua perjodohan yang Mama buat?"

          "This one is special." Dian menyimpulkan senyuman. "Jeneva spesial buat kamu kan?"

***

Ride Off Into Your Sunset | The Golden Shelf #2Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora