24 | Twenty Four

5.4K 574 10
                                    

       Enam bulan yang lalu.

       "Jen! Ayesha Ranakoeswara buat lukisan baru!"

      Suara riang Blair menyapa kesunyian kamarnya. Jeneva yang sedang melukis di depan jendela kamarnya menoleh kepada Blair yang baru saja berbaring di atas kasurnya. "Serius?" tanya Jeneva.

      "Beneran! Ini mau ada pameran lagi bulan depan. Datang, yuk?" ajak Blair semangat.

      "Ayo," jawab Jeneva tidak kalah semangat. "Ah, tapi tiket dia mahal. Padahal, ya, sebenernya lukisan dia menurut gue mirip-mirip sih. But she's good at colour, no wonder people love her works."

       "Tapi lo suka kan? Buktinya akhir-akhir ini lo nyoba aliran impresionis kayak dia."

       "Emang lo pikir yang impresionis Ayesha doang?" Jeneva memutar kedua bola matanya. "Orang lain juga banyak."

       "Iya, sih, udah mulai banyak yang kepengaruh impresionis juga. Tapi kayaknya si Ayesha ini agak  eksklusif gitu deh. Nggak suka kalau ada yang punya aliran atau warna kayak dia," ucap Blair sok tahu.

       "Posesif sama karya sendiri wajar kok," kata Jeneva sambil memulai menggores kuas lagi di kanvas.

       "Lo sendiri? Yang aliran expresionis kayak lo juga banyak."

       Jeneva berhenti melukis. Sejenak ia berpikir sebelum mengendikkan bahunya. "Posesif. But there's nothing new under the sun, you know? I'm posessive, but I don't like being superior. Itu kalo gue, ya."

       "Gampang banget lo ngomongnya," komentar Blair bercanda.

       "Mungkin karena gue belom seterkenal Ayesha," balas Jeneva lalu tertawa. "Gue juga belum berani pakai nama asli. Lukisan belum banyak. Pameran juga belum ada. Orang-orang cuma lihat lukisan gue dari website atau Instagram."

       "Sampai kapan coba lo mau pake nama Kenowefa?" Blair menyebut pseudonym Jeneva di dunia seni rupa--Kenowefa.

      Sekali lagi Jeneva mengendikkan bahunya. "Nggak tahu. Gue belum pede sama lukisan gue."

       "What? Are you serious?" Blair membelalakkan matanya dan bergerak duduk. "Nggak pede gimana coba?"

       "Ya... nggak pede." Jeneva tertawa pelan. "Well, actually, gue sempat kepikiran mau release nama di hari bokap gue ulang tahun bentar lagi. But we'll see."

      Blair tersenyum hangat lalu mengendikkan dagu ke kanvas Jeneva. "Ini lukisan buat bokap lo, ya? Birthday gift?"

      Jeneva mengangguk. "Iya. Kok bisa nebak?"

      "Pink skies, a man with a little girl on his side, sama-sama lagi ngelukis--I guess that means you and your father are painting the sunset together," terang Blair selagi memperhatikan lukisan Jeneva.

       "Kadang gue mikir kenapa lo nggak jadi kritikus lukisan aja. You're good at interpreting," kata Jeneva dengan kedua mata menyipit. 

       Blair tertawa. "Gue selalu mikir kenapa lo nggak jadi pelukis aja, professionally."

       "Life's confusing. I mean, we went to law school instead." Jeneva meringis.

       "At least we have the fancy degree," balas Blair sehingga keduanya tergelak lagi.

       "Cukup fancy buat dapet salary yang bisa dipake buat beli kuas dan catnya Winsor & Newton tiap bulan, lah," timpa Jeneva bercanda.

Ride Off Into Your Sunset | The Golden Shelf #2Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz