15 | Fifteen

7.5K 1K 57
                                    

         "Mall with a tennis court inside? Seriously?"

         Oliver melempar sebuah dokumen ke atas meja kerja Charis Asvathama. Pertanyaan Oliver terdengar sangat sarkastik dan tatapan pria itu terlihat sangat datar. Oliver sudah tidak peduli jika ia dibilang tidak punya sopan santun karena datang ke rumah orang tuanya pukul sepuluh malam dan main masuk begitu saja ke dalam ruang kerja ayahnya. Pria itu sama sekali tidak peduli.

         Charis menatap Oliver sejenak sebelum tertawa pelan. "Masih sudi kamu masuk ke ruang kerja Papa?"

          Papa? Not even close, pikir Oliver dan setengah mati mencoba untuk tidak berdecih di depan ayahnya.

         "Kamu mendatangi Papa dan membawa undangan tender Thama Development. You never did that before. Ada apa, Ver? Apa kamu merasa perusahaan kamu tidak mampu ikut tender dan kamu berubah pikiran untuk jadi eksekutif Thama Development saja?" tanya Charis penuh penghinaan.

         "You're lucky enough I'm not crashing your office walls right now," kata Oliver dengan dingin. 

         "Well, Papa yakin kamu ingin melakukan itu dari tadi. But you don't do that, karena kamu datang ke sini untuk minta sesuatu, bukan?"

         "Wrong." Oliver menaruh kedua tangannya di saku sebelum berkata, "Aku datang untuk membuat sesuatu dan Papa harus menurutinya."

         "Papa? Nurutin kamu? Yang benar aja, Oliver." Charis menertawakan anaknya. 

         "Oh, iya, aku benar, Pa. I'm about to make a deal with you and you need to agree on it."

         "Kenapa Papa harus nurut sama deal ka--"

         "Karena Papa duluan yang menaruhnya di atas mejaku," sela Oliver. 

          Walau ucapannya implisit, Oliver yakin Charis mengerti. Mereka berdua bertukar tatap sejenak sampai Charis menghela napas dan bertanya, "What do you want?"

          "Kita sama-sama tahu kalau Papa sengaja buat tender mall dan tennis court ini supaya aku ikut. You know it as well as I do, Pa. Pertanyaannya sekarang, kalau aku ikut tender Papa, apa untungnya buat aku?"

          Oliver menyeringai ketika Charis tidak bisa menjawab. "Nggak ada kan? Papa kira aku nggak paham strategi ini semua? Papa kira Papa bisa memanfaatkan memori mall dan tennis, because you think, at the end of the day, Oliver is always a sentimental person?"

          Charis menggeleng. "Oliver--"

          "Or what did you always call me, Pa? A soft boy?" tanya Oliver di sela-sela tawa sinisnya. "Ya, Oliver the soft boy. Oliver yang perasa dan payah. Oliver yang lemah, nggak seperti Ganesh yang kayaknya paling kuat di rumah ini. Ya kan, Pa?"

          "Iya!" sahut Charis ketika ia menggebrak meja dan bangkit berdiri. "Dan itu masih valid sampai detik ini, Oliver. Kalau kamu nggak perasa, you wouldn't burst into my room to make a deal in the first place. The second I saw you here, Papa tahu kamu mau ikut tender itu. Karena apa? Because the memory of the goddamn mall and tennis. So, this proofs me that you're still a sentimental like you've always been!"

          Bentakan Charis membuat Oliver terdiam beberapa saat. Ternyata ayahnya masih sama. Charis tahu Oliver mudah terbawa perasaan dan Charis selalu memanfaatkan hal itu. Charis selalu membanding-bandingkan Oliver dan Ganesh, hanya supaya Oliver merasa lemah dan mau menuruti kemauannya.

          Dan Oliver tidak mengelak karena ia memang mengaku bahwa ia sentimental. Namun, kali ini ia akan membuktikan bahwa ia tidak akan kalah dari ayahnya. 

Ride Off Into Your Sunset | The Golden Shelf #2Where stories live. Discover now