3 | Three

11.3K 1.2K 31
                                    

          Jeneva sadar siapa pria tampan di hadapannya. 

          Oliver Asvathama. Pria itu menatapnya tanpa ekspresi apa-apa. Tatapan Oliver begitu datar dan tidak terbaca sehingga Jeneva tidak bisa menebak maksud pria itu menghampirinya. Saat melirik pegangan Oliver di tangannya, Jeneva cepat-cepat menepis. 

         "Jangan pegang gue," ucap Jeneva dengan sangat dingin. Cukup membuat Oliver tersentak.

         "Lo nyaris mati berdiri," balas Oliver sambil mengendikkan dagunya.

         Kilat di mata Jeneva masih menunjukkan ketakutan dan kepanikan di waktu yang bersamaan ketika berkata, "Bukan urusan lo."

        Jeneva mundur beberapa langkah sampai tubuhnya menabrak pelan mobilnya. Ia hampir saja terjatuh kalau Oliver tidak menahan bahunya dengan cepat. 

        "Lo kenapa pegang-pegang gue sih?!" Jeneva setengah berteriak di depan wajah Oliver. Matanya menyalang saat menampik kasar tangan pria itu..

        "Eh, lo gila, ya? Dibantuin malah marah-marah," semprot Oliver tidak kalah sengit. "Tinggal bilang thank you aja susah banget?"

        "Ya, nggak ada yang nyuruh lo bantu gue," kata Jeneva kesal.

        "Dasar cewek aneh."

        Kehadiran Oliver di sana tidak membuat Jeneva menjadi tenang, tetapi semakin pusing. Rasanya Jeneva ingin mati detik itu juga. Jantung wanita itu berdetak semakin cepat bersamaan dengan punggung dan keringat yang terasa dingin. Belum lagi perdebatan bersama Oliver hanya membuatnya semakin susah berpikir jernih.

        "Ngapain masih di sini?" Pertanyaan Jeneva terdengar ketus ketika Oliver tidak juga beranjak dari sana. Pria itu masih berdiri di depannya dan memandanginya dengan datar.

        Oliver tidak menjawab. Ia meraih sesuatu dari saku celana dan mengulurkan itu kepada Jeneva. Lagi-lagi Jeneva terdiam. Sejenak ia memandangi sapu tangan yang diberikan Oliver tanpa menerimanya. 

        "Lap tangan lo. Itu udah keriput gara-gara keringet."

        "Bukan ur—"

        Oliver berdecak. "You're dying when you're panic. Believe me, I get it."

        Mereka sama-sama diam cukup lama. Oliver hanya terus menatap Jeneva dan menunggu wanita itu sedikit lebih tenang. Pria itu bisa mengerti sikap Jeneva yang sangat defensif karena ia pernah berada di posisi yang sama dengan Jeneva. Merasa begitu panik sampai merasa dunia akan berakhir di atas kepalanya, padahal nyatanya perasaan itu hanyalah sebatas ketakutan. 

        Melihat Oliver dengan sabar menunggu dan bertahan mengulurkan sapu tangan, Jeneva mulai merasa bersalah karena sebelumnya bersikap berlebihan. 

        "I'm sorry," ucap wanita itu dengan pelan saat ia mulai bisa mengatur napasnya sendiri.

        Oliver melirik sapu tangannya. "Cepet ambil." 

        Jeneva melirik Oliver sekali lagi kemudian meraih sapu tangan pria itu. Ia meletakkan undangan untuk Dian di atas kap mobilnya sebelum menyeka tangannya. 

        "Itu buat nyokap gue?" Oliver bertanya ketika membaca cetakan nama di sampul depan undangan Jeneva. 

        Sialan, Jeneva ingin mengumpat. Jika ia bilang undangan tersebut untuk Dian, Oliver pasti akan bertanya siapa dirinya. Jeneva tidak mau itu terjadi karena kemungkinan besar Oliver mengingat kejadian 'bendera Jepang' yang sangat amat memalukan kalau ia harus menyebut namanya. 

        "Iya," cicit Jeneva hampir tidak terdengar sambil menjauhi tatapan Oliver. 

        Namun, dugaan Jeneva meleset. Oliver tidak mempertanyakan siapa namanya dan hanya meraih undangannya. Pria itu mengamati undangan tersebut beberapa saat. Matanya menyipit sebentar sebelum kemudian menyeringai pelan. 

        "Lo dateng sama siapa?" tanya Oliver.

        "Sama Mama. Tadi lagi ngobrol sama Tante Dian," jawab Jeneva sekenanya.

        Oliver mengangguk lalu mengambil sebuah kartu nama dari card holder. Jeneva kebingungan saat Oliver memberikan kartu nama itu kepadanya. 

        "Nanti lo masuk terus kasih kartu ini aja ke resepsionis. They will give you a room. Take a break dulu aja di situ. Mama sama nyokap lo biar gue yang urus."

        Jeneva menggeleng keras. "Nggak perlu."

        "Ini lo berdiri aja masih miring. Mau disangka mabok siang-siang?"

        "Gue bilang nggak perlu," ulang Jeneva tegas sehingga Oliver berdecak sekali lagi.

        "Atau mobil lo gue towing sekarang karena berani ngambil jatah valet gue?" 

        Jeneva memutar kedua bola matanya malas. "Nggak elegan banget ancaman lo."

        "Nggak usah ngomongin elegan kalo sikap lo aja mirip anak kecil tantrum di pinggir jalan," balas Oliver tidak mau kalah.

        Jeneva berdecih. Mendebat orang dengan seribu satu jawaban seperti Oliver memang selalu bikin capek diri sendiri. Walaupun terlihat laid back and cool, Oliver akan banyak bicara kalau itu dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Wajar saja jika Jeneva yang selama ini dinilai dingin oleh orang lain merasa semakin pusing ketika bertemu Oliver.

        "Take a quick nap atau gue panggil towing buat Camry lo yang udah out of date itu," kata Oliver yang lebih pas disebut sebagai ultimatum. 

        "Jangan sentuh mobil gue," ucap Jeneva dengan sengit dan sangat protektif tentang perkara mobil. Jeneva lebih memilih untuk menjual Mini Cooper yang ia beli menggunakan jerih payahnya sendiri daripada merelakan Camry hitamnya disetir orang lain apalagi di-towing.

        "You know the offer." Oliver mengendikkan bahunya.

        Karena mobilnya menjadi taruhan, Jeneva akhirnya terpaksa menerima kartu nama Oliver. Ia tidak mengerti mengapa Oliver bersikap memaksa. Apa untungnya bagi pria itu?

        "Good. Nggak usah khawatir sama Mama dan Tante Maya," kata Oliver membuat Jeneva hampir tersedak ludahnya sendiri. 

        Apa tadi? Tante Maya? Bagaimana bisa Oliver menyebut nama ibunya?!

        "Kenapa lo tahu nama nyokap gue?" Jantung Jeneva berdegup cepat.

        Oliver menatap Jeneva sejenak lalu kembali menyeringai sangat pelan. "Maybe I just know, Jeneva Andriana."

***

Find the playlist about Oliver and Jeneva here:

Find the playlist about Oliver and Jeneva here:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Ride Off Into Your Sunset | The Golden Shelf #2Where stories live. Discover now