13 | Thirteen

7.5K 1K 30
                                    

        "Maaf, nggak bisa, Mbak."

        Concierge di lobi The Verne Center mulai jengah membalas Jeneva yang ingin sekali menghancurkan entrance machine gate gedung itu. Jeneva tahu tindakannya bodoh karena berani datang tanpa memiliki kartu akses masuk. Jadi bagaimana caranya ia naik ke kantor Oliver di lantai lima puluh kalau masuk ke lift saja tidak bisa? 

       "Asvacon Engineering International, Mas, coba lagi. Bilang nama saya Jeneva Andriana," kata Jeneva lagi dengan sebal. 

       Concierge itu mengehela napas sebelum menaruh teleponnya dan menatap Jeneva. "Mbak, resepsionisnya bilang nggak ada janji atas nama Jeneva Andriana."

       "Resepsionisnya udah bilang ke Oliver belum?"

       "Pak Oliver? CEO-nya maksud Mbak?" tanya concierge itu tidak yakin sambil menatap pakaian Jeneva. Kaus putih dan legging hitam sudah jelas tidak termasuk standar pakaian tamu Oliver Asvathama.

       "Iya, Oliver yang itu," jawab Jeneva datar.

       "Mbak, maaf," Concierge itu terlihat berpikir sejenak kemudian berkata, "Asvacon terkenal ketat keamanannya. Saya nggak berani push resepsionis mereka. Tapi kalau Mbak mau ketemu Pak Oliver, selihat saya mobil beliau baru keluar kantor setengah jam yang lalu."

       Jeneva mengikuti telunjuk concierge yang mengarah ke parkiran khusus di depan lobi lalu berdecak. Pria itu sedang berada di luar kantor dan Jeneva tidak tahu sampai kapan ia harus menunggu. Nomor telepon Oliver sudah ia hapus tepat setelah pria itu menemuinya kemarin sehingga ia tidak bisa lagi menghubungi Oliver.

       "Terima kasih, Mas. Saya tunggu di sini aja kalau gitu," kata Jeneva sebelum mencari kursi dan duduk di sana. 

      Wanita itu meraup wajahnya dan menggeram kesal kepada dirinya sendiri. Kalau saja Oliver tidak bersikap berlebihan dengan mengirim hadiah-hadiah 'spektakuler' yang tidak ia inginkan, pasti ia tidak akan terlantar di lobi gedung kantor seperti ini. Belum lagi, pekerjaan dan reputasi Oliver membuat Jeneva jadi sulit menemui pria itu karena belum buat janji lebih dulu. 

      Dia pikir dia presiden, Jeneva mencaci. Ia melirik jam tangannya dan ia akan menunggu sampai jam pulang kantor--masih dua jam lagi. Kalau Oliver belum kembali saat itu juga, Jeneva akan datang lagi besok. Kalau besok Oliver tidak ada, maka Jeneva akan datang lagi besok lusa. Jeneva tidak peduli berapa lama ia harus menunggu 'Presiden' Oliver yang super sibuk itu, asalkan ia bisa mengembalikan hibah Camry barunya.

      Jeneva mengedarkan pandangannya dan berharap Oliver sudah datang. Namun, pria itu tidak juga kelihatan sampai Jeneva tidak sengaja ketiduran karena sudah menunggu lebih dari tiga jam. Wanita itu terpejam di kursi tunggu dan terbangun ketika merasa tubuhnya menghangat. 

      "Dari kapan lo duduk di situ?" tanya Jeneva yang baru saja membuka matanya. Ia menatap Oliver datar dan tertegun melihat Tom Ford Oliver yang menyelimuti tubuhnya, meninggalkan wangi cologne pria itu di mana-mana. 

      Oliver melirik Patek Philippe di tangannya dan tersenyum. "An hour ago."

      "You're crazy!" Jeneva memelotot dan menarik jas Oliver dari tubuhnya. "Kenapa nggak nyuruh gue bangun sih? Gue ketiduran karena nungguin lo, tahu nggak?"

      "Why didn't you call me? Lo punya nomer gue kan? I'll pick it up for you."

      Oliver tertawa kecil saat Jeneva melengos dan tidak menjawabnya.

      "You deleted it, didn't you?" tembak Oliver dengan sebelah alis terangkat. 

      "None of your goddamn business," jawab Jeneva sengit.

      "Well, sorry to keep you waiting. Tadi gue keluar buat ketemu Tan—"

      "Look, Oliver," potong Jeneva dan meletakkan kartu ucapan Oliver di atas meja, "Gue nggak peduli lo ketemu siapa. I don't care. You can do the shit you want to do, but not to me. I threw back your Camry."

       "Lo tahu Camry lo udah belang-belang kan catnya?" Oliver mengangkat kedua alisnya.

       Jeneva menyeringai. "Kalau bukan karena menghargai lo, I would kick your ass and rip that greeting card because it's full of bullshit. Gue nggak ngerti cara pikir orang-orang tajir kayak lo yang isi kepalanya cuma uang, uang, dan uang. Mobil harus all new, jas harus ribuan dolar, makan harus fine dining, yadda yadda yadda. Terus kalau gue nyaman mobil gue outdated, emang kenapa?" 

       Oliver terkejut mendengar ucapan Jeneva. Baru saja ia ingin bicara, Jeneva kembali menyela, "Lo orang kaya yang tukang flexing dan mikir semuanya bisa dibayar pake gold and glitters nggak akan pernah bisa ngerti. I mean, use your mind, Harvard Boy. That outdated car is here for years already and that's what makes it matters. So, I'm sorry. All new Camry lo nggak ada harganya dibanding Camry gue yang belang-belang. Remember my words."

       Oliver sama sekali tidak membalas. Ia memberikan gestures-nya dengan sepenuh hati, namun Jeneva dengan mudah menginjak-injak dan menyalahartikan itu semua menjadi tidak ada harganya. Dan melihat mata Jeneva yang penuh kepahitan, Oliver tahu bukan tanpa alasan ucapan wanita itu begitu tajam.

      "Jen," panggil Oliver pelan dan Jeneva merasa pria itu menatapnya seakan tersakiti. "I can remember your words, but right now, I'm choosing not to."

     "Geez..."

     "Gue serius, Jen. You lashed out on me and I can't sleep if I have to remember all your words. Tapi kalau lash out ke gue bikin lo merasa lebih baik, ya, nggak apa-apa," kata Oliver lalu tersenyum kecil.

      Jeneva tertegun. Ia mulai merasa bersalah saat Oliver sama sekali tidak marah. Ini sudah kesekian kali Jeneva bersikap tidak menyenangkan dan Oliver dengan sabar menanggapinya.

      "Mau ngapain?" tanya Jeneva begitu saja ketika Oliver berdiri dari kursi. 

      Oliver terlihat terkejut mendengar pertanyaan Jeneva. Ia menjawab, "Gue mau nanya 'are you okay?', tapi gue tahu lo bakal lash out lagi. So I'll just keep quiet."

      "Serius."

      "Seinget gue lo nggak peduli sama gue." 

      "I've waited for you for three goddamn hours. Gue tanya begini karena gue nggak terima ditinggal gitu doang habis nunggu lama-lama," balas Jeneva kesal.

      Oliver mengangkat sebelah alisnya dan menaruh kedua tangan di saku celananya. "Terus apa? Udah marah-marahnya kan? Are you asking me to take you to a dinner now?"

      "Damn straight I am not!" sahut Jeneva sehingga Oliver tertawa. Senyuman pria itu membuat lesung di kedua pipinya sehingga ia terlihat semakin tampan. Sialan, umpat Jeneva.

      "Well, good. I don't want to either. My night's booked and you're not on the list. I still have a lot of works to do," kata Oliver sebelum mengendikkan bahunya.

       Jeneva menganga sesaat mendengar jawaban Oliver lalu memutar kedua bola matanya.

      "Then, good," ucap Jeneva tegas. 

       Kemudian Oliver tidak langsung beranjak. Sejenak pria itu bertukar tatap dengan Jeneva dan berkata, "Gue nggak mau kasih sesuatu yang lo nggak suka. Now, I just want you to know that I'm not who you think I am. When I want to flex, I do flex. When I show that I care, I really care. Tapi mungkin emang lebih gampang ngira gue cuma flexing ke lo, di saat gue beneran peduli sama lo, ya, Jen?"


Ride Off Into Your Sunset | The Golden Shelf #2Where stories live. Discover now