14. Rapuh 🌱✨

14 2 0
                                    

Tunggu aku, aku rapuh

Aku mengejar Reynandra. Larinya cepat sekali. Aku hampir kehilangan jejaknya, namun akhirnya aku berhasil menangkapnya ketika ia terjatuh. Reynandra menangis, lalu aku memeluknya erat.

"Akhirnya kita bisa bertemu kembali, akhirnya aku bisa memelukmu lagi. Aku merindukanmu, Reynandra."

***
Terhitung kurang lebih 3 bulan Clarissa berada di sekolah ini.

Gadis itu berhasil mengubah seorang Alvero yang awalnya dingin menjadi lebih ceria. Aku sangat bahagia melihat sahabatku kembali tersenyum seperti dulu. Tapi, di sisi lain aku juga sedih karena Alvero masih mempunyai penyesalan terbesar yaitu tidak bisa mempertahankan komunitas. Alvero masih menganggap bahwa bubarnya komunitas itu adalah kesalahannya. Walaupun sudah berkali-kali aku meyakinkan, tapi ia sangat keras kepala.

Sahabat-sahabat ku sedang di fase bucin dengan pasangan masing-masing. Devano dengan Camella dan Alvero dengan Clarissa yang entah sejak kapan resmi berpacaran. Aku dengan Felicia? Ah hanya berharap.

Hubungan kami dan Ervan semakin memburuk setiap harinya. Ervan dan Zella bahkan sudah berani menyakiti Clarissa yang tidak tahu apa-apa soal masalah ini. Kejam memang.

***
Hujan deras mengguyur kota Jakarta siang ini. Bagaimana caraku pulang? Tidak ada jalan lain selain nekat menerabas hujan.

Aku berlari di jalan dan melindungi kepalaku dengan tas sekolah. Aku pergi ke tempat kerja.
Toko paman Ming tutup. Begitupun dengan rumahnya. Karena tidak ada pemberitahuan libur, aku mengetuk pintu rumah paman Ming.

Tok...tok...tok...
"Permisi paman," panggilku.

Damn.
Ada sesuatu yang mengejutkanku ketika sampai di sana. Aku tidak sedang bermimpi kan?

Yang membukakan pintu untukku adalah ... Devan?

"Devan?"

Devan tampak syok. "Azriel? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Kamu sendiri, apa yang kau lakukan di sini?"

"Ini rumah ayah kandungku. Kau ada perlu apa?"

"Aku bekerja di sini, Van."

Devano terlihat syok. Ia segera berlari ke dalam rumah. "Ayah ... ayah!" Devano memanggil ayahnya dengan suara keras.

Seseorang keluar dari dalam kamar. Itu paman Ming. Devano segera menghampiri paman Ming. "Ayah kenapa tega sekali memperkerjakan teman Vano?"

Aku syok. Ternyata benar kecurigaan ku selama ini. Devano benar-benar anak dari paman Ming.

Paman Ming menunduk. Tidak menjawab apa-apa.

"Ayah, Devan tidak mau teman Devan menjadi pekerja di keluarga kita. Devan tidak mau teman-teman Devan tau tentang keadaan keluarga kita yang sebenarnya pas-pasan. Sekarang, Devan minta ayah berhentikan dia!"

Damn.

***

Aku benar-benar diberhentikan hari ini. Aku pulang dengan keadaan kusut. Persahabatan hancur, komunitas hancur, dan kehilangan pekerjaan.

Aku ingin menenangkan diri di gedung komunitas yang mungkin sekarang sepi karena tidak mungkin ada yang di sana. Tapi, tunggu? Aku seperti melihat Clarissa yang dibawa masuk ke dalam gedung itu oleh orang misterius. Clarissa dalam keadaan pingsan.

Aku mendekati gedung itu. Nyaliku ciut ketika melihat banyaknya mobil dan moge di depan gedung. Motor Alvero juga ada di sana. "Apakah aku harus membawa polisi?"

Cukup lama perjalanan memanggil polisi dan orang tua Clarissa, serta ibu Alvero. Kami kembali ke gedung. Aku mengajak mereka masuk ke gedung itu.

Aku sudah sangat panik. Kami membuka pintu bersamaan dengan suara tembakan. Dor ...

Damn.
Aku terlambat.
Tubuhku melemas seketika.

Aku melihat kedua sahabatku, Alvero dan Clarissa sudah tergeletak tak berdaya dengan darah di sekujur tubuh mereka.

Orang tua mereka juga seketika menangis. Air mata tak tertahankan. Pecah. Aku benar-benar membeku saat itu.

Polisi segera menangkap para pelaku. Miris, mereka adalah mantan-mantan sahabatku.

***
Pagi ini, pemakaman Alvero dan Clarissa dilaksanakan. Tapi, aku benar-benar tidak sanggup untuk menghadiri acara itu. Tidak sanggup melihat sahabat-sahabat ku dimasukkan ke dalam liang lahat. Sakit rasanya.

Aku merenung, sendirian di dalam rumah. Tidak punya siapa-siapa lagi. Orang tuaku tidak pernah menganggap aku lagi. Bahkan, ibuku yang dulunya sangat bersemangat untuk kesembuhan mataku pun kini menghilang tanpa kabar.

Beberapa hari lalu, paman Bram mengatakan suatu fakta yang membuatku melemas seketika. Ternyata, ibuku menikah lagi sesaat setelah aku operasi mata.

"Ibu, tidak taukah kau bahwa aku sangat ingin bertemu denganmu?"

Entahlah. Aku benar-benar kalut. Apalagi yang harus kulakukan sekarang?

Sahabat ku.
Ada menjadi musuh.
Ada yang meninggalkanku karena ia tidak mau keadaan keluarga sebenarnya dibongkar.
Lalu, sahabat yang paling setia, pergi untuk selama-lamanya tepat di hari terakhir ujian.

***
Lulus.
"Aku lulus? Benar-benar lulus? Haha waktu terasa sangat cepat." aku memandangi selembar ijazah yang menandakan selesainya masa sekolahku.

"Azriel," panggil wali kelas.

"Iya?"

"Kemarilah!"

Aku melangkahkan kakiku mendekat. "Ada apa ya, Pak?"

"Ikut saya."

Aku mengikuti wali kelasku menuju ruang kepala sekolah. Ada apa ini?

Wali kelas mengetuk pintu. "Permisi , Pak."

"Masuk."

Kami masuk. Kepala sekolah melihatku dari bawah ke atas. "Azriel?"

"Iya, Pak."

Beliau berdiri lalu mengajakku bersalaman. "Selamat. Beasiswa kuliah 8 tahun untukmu."

***
Kuliah. Kehidupan yang sebenarnya. Kuliah sendiri, tanpa teman, tanpa orang tua, dan tanpa dukungan.

Bisakah?

Aku berjalan-jalan di taman kota. Memikirkan tentang kuliahku. Apakah aku akan mengambil beasiswa itu?

Tiba-tiba ... brak ....

Seorang anak kecil jatuh tepat di belakang ku. Aku bergegas menolongnya. Lalu membawanya ke tempat yang lebih aman.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku.

"Selagi ada kakak, aku baik-baik saja," jawabnya.

Sedari tadi, dia menundukkan kepalanya. Membuatku penasaran dengan wajahnya. "Heii, bisakah kau mengangkat kepalamu?"

Ia mengangkat kepalanya. "Reynandra?"






Dikit-dikit ajaaaa
Gajelas ya pasti karena aku ngebut
Ada sesuatu yang bikin aku ngebut

Falling Apart (Spin Off Alverissa) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora