023 || Marah

70 42 12
                                    

Setelah memastikan Anna masuk ke dalam lift untuk turun ke bawah. Esha langsung memasuki apartemennya kembali. Tanpa peduli dengan asap mengepul yang Noa timbulkan, Esha membuka lebar-lebar pintu balkon, bergerak menghampiri Noa yang berdiri tegak dengan tangan kiri yang mencengkeram erat pagar pembatas balkon.

Menyadari kedatangan Esha, Noa langsung sigap membuang rokok yang baru saja setengah ia hisap. “Jangan deket-deket, Sha. Gue bau asap rokok.”

Esha tidak mendengarkan peringatan Noa, dia malah dengan sengaja berdiri di samping Noa. “Kenapa?” tangan Esha menarik tubuh Noa hingga sempurna menghadapnya.

Ada sorot ketakutan di mata Noa dan Esha menyadari itu. Ia mengangkat tangan kanannya membelai halus rahang tegas Noa, berusaha menghantarkan sedikit rasa tenang untuk Noa.

“Ada yang ganggu pikiran lo, lagi?” tanya Esha.

Noa diam saja, sibuk menikmati sapuan halus dari jemari kecil Esha. Hingga ketika Esha mendekat dan memeluknya Noa spontan bergerak mundur. “Jangan peluk gue. Gue bau rokok.”

Sayangnya Esha tidak peduli, ia malah dengan sengaja membuka tangannya lebar-lebar. “Kalau lo butuh, peluk aja. Lagian gak bau-bau amat.”

Noa menyerah, pada akhirnya dia masuk ke dalam peluk Esha. Peluk hangat yang selalu berhasil membuatnya tenang. Sejak datang ke apartemen Esha, yang Noa butuhkan memang pelukan ini. Perihal minta makan itu hanya alibi. Tetapi ketika mendapati Anna yang berada di apartemen Esha, Noa jadi mengurungkan niatnya. Ia memilih berbaring dan berbalas pesan dengan teman-temannya untuk sekedar mengalihkan pikirannya sejenak.

Noa sebenarnya tidak berniat mengusir Anna tadi. Ia hanya bercanda, tidak pernah berpikir juga bahwa Anna akan langsung pulang.

Noa tidak tahu saja bahwa yang mengusir Anna tadi bukan dia, melainkan Esha.

“Badan lo hangat, lo demam ya?” tanya Esha panik. Tadi saat kaki Noa mendarat di pahanya, Esha tak merasakan rasa hangat itu. Kini setelah tubuh Noa luruh dalam peluknya, ia bisa merasakan dengan jelas bahwa tubuh kekasihnya yang hangat mendekati rasa panas. Bukan hangat-hangat kuku.

“Ayo masuk,” Esha langsung menarik Noa masuk. Menutup cepat pintu balkon dan menguncinya, ia meminta Noa untuk duduk di sofa.

“Lo demam gini kenapa gak bilang?” tanya Esha seraya menaikkan suhu pendingin ruangan.

Noa diam saja, ia sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk bercerita kepada Esha tentang hal yang mengganggu pikirannya sejak pulang dari rumah Jiel tadi.

“Noa jangan diem aja. Jangan bikin gue tambah panik!” sekali lagi tangan Esha bergerak mengelus rahang tegas Noa.

“Shea,” panggil Noa pelan.

Tapi entah mengapa, mendengar panggilan itu tubuh Esha tiba-tiba saja menegang. Noa jarang sekali memanggil nama depannya. Sejak dulu Noa lebih sering memanggil nama belakangnya, bahkan terkadang menggunakan panggilan Pau yang dibuatnya asal.

“Hm, kenapa? Lo butuh sesuatu?” tanya Esha berusaha tenang meskipun nyatanya jantungnya sudah berdegup lebih cepat.

“Papa minta gue pindah ke Jepang.”

Jantung Esha rasanya akan lepas saat itu juga. Ia terdiam berusaha mencerna kalimat yang Noa ucapkan.

“Kenapa?” setelah berusaha menenangkan diri Esha akhirnya kembali bertanya meminta penjelasan lebih.

“Nauni masuk rumah sakit lagi, dia kritis. Dan Papa bilang sama gue, Nauni selalu cari gue. Karena Papa gak bisa bawa Nauni pulang ke Indonesia, Papa jadi minta gue buat pindah ke sana.” Noa menunduk hanya untuk menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Hidden Couple Where stories live. Discover now