Kemarahan

14.7K 173 0
                                    

"Tante tahu pintu keluar." Dengan tegas Bang Al bicara. "Atau Tante mau di antar?" Senyum mengejek dari Al tampilkan.

"Sialan! Awas kamu Pija. Tante tidak mau tahu. Uang yang di rekening itu secepatnya kamu berikan kepada tante! Karena kamu tahu akibatnya jika tidak mengirimnya." Teriak Tante Sintia dengan murka. Lalu keluar dari rumah menendang beberapa pajangan seperti vas bunga yang jatuh dan langsung hancur menimbulkan suara nyaring. Tante Sintia ke sini tentu tidak sendirian. Ada 2 orang bodyguar yang mengikutinya. Tante Sintia dari awal bertamu tiada baik-baiknya. Padahal Pija sudah menjelaskan dengan baik-baik perihal buku tabungan hadiah dari Ayah Rey. Tapi, tetap saja Tante Sintia tidak terima jika uang tersebut tidak jatuh ke tangannya.

"Kamu ngga apa-apa, Yang?" Al langsung berbalik setelah melihat Tante Sintia hilang dari balik pintu rumahnya. Mendapatin istrinya mengangguk dan tersenyum cantik kepadanya. Seakan Al bisa bernafas legah. "Ko senyum sih, Yang?"

"Memang harus nangis, yah Bang?"

"Yah ngga juga. Tapi, kan biasanya kamu beda."

"Gimana ngga beda. Sekarang kan ada Abang, yang siap siaga nolongi aku hehe..."

Ara sendiri tidak mengiraukan pasangan suami istri itu. Memilih melihat vas ke sayangan Bundanya yang hancur. "Mati lah Bang. Ini vas ke sayangan Bunda." Memotong kalimat pujian dan gombalan yang Pija akan terus lakukan kepada Bang Al. Di depan matanya vas bunganya bunda tidak berbentuk lagi. "Mati lah kita Bang."

"Yah ini gimana?" Tanya Pija yang sudah menjongkok mengikuti Ara. "Nanti gue yang tanggung jawab bicara sama Bunda deh." Pija tentu tidak enak karena dirinya. Vas bunga ke sayangan Bunda seperti ini jadinya.

"Ngga perlu, nanti Abang yang bicara."

"Kan ini gara-gara aku Bang." Pija sedikit ngotot ingin bertanggung jawab. "Jadi biar aku yang bicara Bang."

Al sudah duduk di sofa melihat Pija dan Ara membersihkan pecahan vas bunga. "Yah udah. Nanti Abang temanin bicara sama Bunda."Pija mengeleng dan meminta tolong kepada Abang Al dan Ara tentang pikirannya yang ingin tidak memberitahu kalo istri Ayah Rey datang ker rumah ini dalam kondisi marah-marah.

"Eh, Ja. Yang di bilang nenek lampir itu. Uang Apa sih? Ko lo ngga cerita." Ara yang mengumpulkan pecahan vas bunga bertanya setelah keheningan terjadi karena permintaan Pija yang menurutnya sedikit mengkhawatirkan.

"Gue lupa cerita hehe..." ucap Pija setelah berdiri mencari skop sampah dan kembali jongkong di depan Ara memungut satu persatu pecahan vas bunga. "Satu hari sebelum nikah sama Bang Al. Ayah Rey datang temui gue, terus bawa 2 hadiah. Satu set perhiasaan dan buku rekening." Cerita Pija.

"Terus yang Nenek lampir maksud itu. Buku rekening yang Ayah Rey, kasih?"

Pija mengangguk. Semua pecahan vas bunga sudah di dalam skop sampah tinggal di buang dan entah atas insiatif apa, Bang Al mengambil skop sampah itu lalu membuangnya ke tempat sampah yang ada di depan rumah.

Pija sungguh merasa Bang Al full service, kepadanya.

"Emang saldo di buku rekening itu berapa, ja?" Ara sudah duduk di sofa ruang tamu. Begitu pun Pija mengikutinya tapi, beda sofa. Pija di sofa panjang dan Ara sofa single.

"Kalo ngga salah. Satu milliar deh. Tapi, ngga tahu juga. Aku cuman bukan 1 kali pas di kasih sama Ayah Rey." Pija mengingat-ingat berapa saldo dalam rekening itu. Karena Pija baru 1 kali membukanya waktu Ayah Rey memberikannya selebihnya Pija hanya menyimpan di tempat aman.

"Terus buku rekeningnya. Lo simpan dimana?"

"Di kamar." Ara mengangguk, Abang Al selesai membuang sampah dan langsung duduk di samping Pija. "Gue bingung mau nelpon Ayah ceritain ini tapi, takut kalo Ayah masih sakit. Kasian nanti Ayah kepikiran." Kekhawatiran Pija.

"Terus mau kamu gimana, yang?" Al bertanya tentang kemauan Pija. Karena di satu sisi sebagai suami, Al tentu ingin menidaklanjut peristiwa ini. Mungkin di laporkan ke polisi atas tindakan penyerangan atau penidasaan tapi, semua itu tentu atas kemauan Pija.

"Ngga tahu bingung." Jawab Pija sambil mengedipkan bahunya.

"Laporin saja ke polisi nenek lampir itu. Biar kapok." Ara mengungkapkan sarannya. Ke kesalannya terhadap tante Pija begitu banyak jadi salah satu yang kepikiran olehnya yaitu membuatnya jera. "Nenek lampir itu mungkin ke bakaran jengot mendengar berapa banyak, duit yang berada di buku rekening yang di berikan Ayah Rey ke eh lo."

"Kalo lapor polisi ngga deh. Soalnya yang terpukul dengan kasus ini pasti Ayah."

"Masa iya, lo diam?"

"Biasanya kan gitu." Jawab Pija pasrah. Karena keseringan mengalah kepada Tantenya maka, kali ini pun pasti ujungnya sama. Yaitu mengalah agar Tantenya senang.

"Emang Ayah Rey. Bilang itu uang apa?"

"Uang meubel dan pabrik yang sudah di sisikan selama Bapa dan Mama gue pergi. Katanya memang untuk gue."

"Itu lo tahu. Kenapa ngga lawan sih. Memang meubel dan pabrik itu kan milik Bapa dan Mama lo, jadi wajar sih. Gue rasa kalo Ayah Rey nabungin buat lo." Pija juga menyetujui itu. Tapi, bagaimana juga Pija tidak mungkin buat Ayah Rey bersedih. "Lo juga harus mikir. Ayah Rey sudah cape-cape ngumpulin duit itu. tapi, kalo lo nyerahi buku rekening itu tanpa bilang sama Ayah Rey. Itu namanya kelewatin sih."

Abang Al hanya diam karena dirinya hanya tahu sedikit cerita tentang Pija serta mertuanya dan kali ini dia jadi pendengar baik, lalu mengusap lembut tangan Pija. "Gue maunya kasih tahu Ayah. Tapi lihat nanti deh."

"Jangan nanti-nanti lah. Nenek lampir itu pasti ke panasan ngga dapat uang dari lo." Desak Ara. "Nenek lampir itu pikirannya pasti duit-duit-duit-duit." Endingnya Ara bernyanyi mengenai duit yang lagi viral di tiktok.

Pija dan Al hanya geleng-geleng kepala melihat Ara.

"Bunda." Setelah 3 orang itu menjawab salam Bunda. Ara berteriak memanggil Bunda yang baru masuk ke rumah. Bunda sendiri sudah biasa melihat anak perempuannya seperti itu, teriak-teriak memanggilkan jika baru datang dari mana pun. "Bunda bawa apa?" Jangan lupakan kebiasaan Ara yang dari kecil. Menanyakan bawaan Bunda yang baru pulang.

"Bunda bawa pia." Pekikkan kegiraan Ara membuat kaget Bunda yang baru mau duduk. "Ara." Tegur Bunda.

"Maaf Bund, hehe..." Ara kena teguran lalu meminta maaf dan cekikilan.

"Bunda." Panggil Pija. Pija juga sudah duduk tegak. Bunda sendiri merasa heran melihat raut wajah Pija yang tegang, gelisah dan ketakutan. "Maaf Bunda. Pija ngga sengaja jatuhin vas bunga kesayangan Bunda." Pija menunduk dan dengan hati-hati bicara.

Bunda sendiri langsung berbalik melihat tempat vas bunga kesayangannya berada, kosong. "Maaf Bunda." Pija meminta maaf lagi. Sedangkan Ara dan Bang Al di tempatnya hanya diam. Melihat bagaimana Pija meminta maaf kepada Bunda.

"Hm, ngga apa nak. Nanti Bunda pesan lagi." Setelah lama berdiam. Bunda akhirnya angkat bicara. "Namanya juga musibah, yah ngga yang tahu." Ucap Bunda menenangkan Pija di sebrang meja yang duduk tepat di samping Bang Al. Suara isak tangis terdengar dan Bunda pindah duduk ke samping Pija yang kosong. "Loh ko nangis?"

Pija menghapus air matanya dan menutup bibirnya rapat-rapat. Selama peristiwa tadi, Pija tidak ada nangis-nangisnya tapi, saat meminta maaf ke Bunda seakan air matanya berlomba ingin keluar. "Jangan nangis Nak. Bunda ngga marah." Usapan lembut dirambut Pija, Pija rasakan. Anggukan Pija lakukan. "Sudah yah nangisnya."

Tiada lagi tangis Pija. Bunda membuka paper bag berisi pia yang baru di bawanya dari rumah Oma. Meminta agar anak-anaknya memakanya dan Bunda juga meminta tolong ke Ara untuk ambil minuman. Bersantai di ruang tamu mereka lakukan. Ara sendiri mau memberitahu apa yang terjadi dengan vas bunga kesayangan Bunda tapi, di larang oleh Pija. Selain itu Al sedikit terganggu dengan Pija yang tidak bicara jujur dengan Bunda. Namun tetap membiarkan. Karena Pija sudah memberi alasan kepada mereka berdua kenapa dirinya tidak ingin jujur dengan Bunda salah satunya karena Pija takut Bunda kepikiran.

****

Sulbar, 21 Oktober 2023

Selamat membaca

Sahabat ko gitu! 21+Where stories live. Discover now