Terlalu banyak perbedaan

8.8K 251 0
                                    

"Enak banget yang dapat nasi goreng."  Sebuah sindiran di dapat Pija saat mengambil sendok di rak piring dan orang yang menyindir hanya mengambil segelas air putih lalu berlalu entah kemana. Di dalam dapur itu bukan hanya ada Pija dan Bang Al tapi juga ada Ara.

"Abang kenapa?" Tanya Ara yang sibuk menuangkan jus jeruk kemasan pada gelas kosongnya.

Pija mengedipkan bahunya tanda tidak tahu. "Lo beli nasi goreng dekat kampus?" Nasi goreng mahasiswa itu memang terkenal di kalangan mahasiswa selain harga murah, rasa enak dan tempatnya yang strategis dekat dari kampus membuat hampir semua mahasiswa tahu mengenai nasi goreng tersebut. Apalagi penyajiannya yang sedikit berbeda memakai styrofoam wadah yang biasa di pakai bubur, alih-alih memakai kertas nasi. "Lo cuman beli satu?" Belum terjawab pertanyaan sebelumnya. Ara mendekat dan keningnya berkerut saat mengetahui nasi goreng itu hanya 1 bungkus.

"Ini di kasih." Jawab Pija sambil meletakan nasi goreng itu di meja makan.

"Lo di kasih siapa?"

"Kak Aziz."

"Upss." Seakan Ara mengerti. Kenapa Abangnya begitu kesal. "Kak Aziz, senior kita?"

Anggukan Pija sudah menjawab tebakannya. "Pantas saja Abang kesal."

Kerutan di kening Pija bertanda bahwa dia tidak mengerti apa hubungannya nasi goreng Kak Aziz dan Abang. "Abang tidak suka kalo lo dapat makanan dari orang. Yang gue tangkap sih gitu."

Pija mengingat-ingat selama perjalanan mereka pulang. Abang Al hanya diam begitu pun dengan Pija karena tidak tahu topik apa yang harus di angkatnya agar mereka berdua ngobrol. Karena biasanya Abang Al yang memulai pembicaraan. "Yah tuhan Ja. Lo ngga tahu kalo Abang mulai bucin mati sama lo." Pija hanya diam tidak tahu harus menanggapin apa. Apalagi mereka baru menikah beberapa hari lalu jadi wajar saja jika Pija tidak percaya hal itu. "Abang ngga pernah gini. Boro-boro bucin, ngambek gemes kaya tadi saja gue baru lihat. Biasanya Abang suka diam dan nerima apapun. Tapi, ke lo semuanya kaya keluar gitu. Isst kaya bocah." Ara sendiri sedikit kaget melihat tingkah Abangnya yang berbeda dari biasanya.

"Gue juga bingung, selalu di diemin sama Abang." Aduh Pija mengingat hal yang berulang yang dilakukan Bang Al. "Tiba-tiba mogok bicara eh ngga lama dia minta maaf, kan lucu."

Ara yang sudah duduk satu meja dengan Pija. Mendengar dan tertawa terbahak-bahak mendengar hal itu. Karena sebuah hal baru yang selama ini Abangnya tidak perlihatkan ke mereka. Abang Al akan hanya jadi sosok anak sempurna, kakak yang sempurna, bertanggung jawab, sayang adiknya dan banyak lagi yang Ara akui itu. Ara selalu bangga memiliki kakak seperti Abang.
"Lo seriusan Abang gitu?" Menyelesaikan tawanya. Lalu Ara bertanya karena sedikit tidak percaya dengan hal itu.

Anggukan Pija berikan. "Lo ingat pagi tadi? Abang diam dan lesu yah itu gara-gara gue. Eh siangnya dia ke kos dan ujungnya dia minta maaf. Terus Abang kasih tahu salah gue apa." Ara hanya bisa tercenga mendengar hal itu. "Yah kalo diam kali ini kayanya gue tahu. Gara-gara apa." Analisa Pija kali ini tentu tidak salah, mengenai keterdiaman Abang Al. "Lo mau makan nasi goreng ini?"

"Emang lo ngga mau makan?" Ara menerima nasi goreng yang di berikan Pija. "Takut Abang diamin lagi." Tawa Ara keluar. Setelah mengeluarkan kalimat itu.

"Abang kalo diam nyeremin." Pija yang membayangkan saja bergedik ngeri.

Tawa Ara terdengar lebih kencang dari yang tadi. Seakan puas mendengar cerita Pija. "Lo benaran ngga mau?" Setelah menghentikan tawanya. Ara bertanya sambil menikmati nasi goreng. Pija mengeleng. "Lo tadi ngampus? Kayanya semua urusan lo udah selesai. Ngapain ke kampus?" Emang dasarnya mereka bersahabat. Jadi apapun itu, Pija tahu hal itu.

"Ngga tahu mau ngapain di rumah. Abang diamin gue dan lo masih tidur. Bunda sibuk dengan arisannya. Yah mending gue ngampus."

Entah berapa kali Ara tertawa. Mendengar cerita Pija yang sungguh mengelikan. "Yah tuhan, segitunya." Sampai air mata Pija keluar karena tawanya.

Sahabat ko gitu! 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang