Kecelakan

15.7K 184 0
                                    

"Ja, lo oke?" Dari tadi Ara, mencoba mengajak bicara Pija. Setelah mendengar Ayah Rey kecelakan, Pija seakan berada di dunia lain. "Ja, lo dengar gue ngga sih?" Ara mulai putus asa, bicara dengan Pija. Bagaimana juga Ara sudah memukul pelan pipi Pija agar Pija meresponnya bicara tapi, semua itu sia-sia.

Abang Al, Bunda dan Ayah. Pergi ke rumah sakit lebih dulu meninggalkan Ara dan Pija di rumah. Tentunya bukan tanpa alasan tapi, karena kondisi Pija yang tidak memungkinkan di bawah ke rumah sakit melihat Ayah Rey. Setelah Abang Al menutup pintu karena mendengar informasi dari Ara. Abang Al pergi mandi untuk menghilangkan pikirannya yang tidak-tidak lalu menidurkan miliknya secara cepat lalu membantu Pija memakai baju dan selalu mengsugesti Pija bahwa Ayah Rey baik-baik saja. Berbicara ini dan itu ke Pija tapi, Pija tidak merespon apapun.

Al sebenarnya tidak ingin meninggalkan Pija di rumah. Tapi, Bunda memaksanya. Memastikan kondisi Ayah Rey terlebih dahulu lalu pulang melihat istrinya yang lagi shock berat. Mereka berempat tahu bahwa trauma yang Pija terima waktu umur 13 tahun lalu kini kembali lagi. Hal itu karena kecelakan Ayah Rey. Memori yang dulu perlahan sirna kini kembali sedikit demi sedikit.

Pija mulai takut menutup matanya, karena bayangan dimana dia melihat di depan matanya mobilnya tertabrak dengan truk yang mengakibatkan kedua orang tuanya meninggal di tempat.

"Ja, lo boleh tidur ko. Jangan gini gue takut, sumpah!" Ara di samping Pija hanya bisa menangis tersedu-sedu menyaksikan bagaimana kesakitan Pija rasakan. Bukan kesakitan karena luka pada tubuh tapi, kesakitan batin. Tidak terlihat tapi, terasa.

Ponsel Ara berbunyi. "Yah, Bang." Setelah menjawab salam.

"Istri Abang gimana?" Suara Al terdengar khawatir.

"Masih seperti tadi. Belum mau bicara sama sekalih, Ara takut Bang. Abang ngga pulang?"

"Ini Abang sudah di jalan. Ayah Rey kondisinya baik tapi, kaki kirinya sedang bermasalah karena insiden kecelakan itu." Ara sangat lega mendengar kondisi Om Pija yang di anggap Pija sebagai Ayahnya.

Sambungan telpon terputus dan Ara kembali memberikan kabar kondisi Ayah Rey kepada Pija. Ara juga membantu Pija untuk berbaring karena dari tadi Pija menyandarkan dirinya di hearboard. Semua hal yang terjadi tiba-tiba membuat Ara menyadari bahwa sebenarnya trauma Pija belum selesai sepenuhnya. Ketakutannya menghadapin kepergian orang tersayang membuatnya seperti ini.

Sapuan lembut Ara berikan kepada Pija di rambutnya. Mungkin tidak berpengaruh banyak tapi, setidaknya Pija tahu bahwa dalam kondisi seperti ini dirinya tidak sendiri.
Pija pernah cerita bahwa 2 tahun lamanya dia harus terus konsultasi ke psikolog karena traumanya. Ara pikir semua telah membaik. Maksudnya tidak ada lagi hal yang terjadi berikutnya dalam kondisi apapun tapi, ternyata semua di luar dugaan Ara.

Mata Pija benar-benar masih terbuka dan entah ke menit berapa setelah apa yang Ara sampaikan perihal Ayah Rey yang baik-baik saja. Mata Pija mengeluarkan air dan Pija menangis tersedu-sedu pada akhirnya. "Ja, it's okay lo bisa nangis ko. Nangis semau mu, luapkan semua yang lo rasa. Apapun itu, gue disini di samping lo."

Hiks

"Gue takut Ra. Ayah Rey pergi seperti Mama dan Papa gue." Isakan tangis pecah saat kalimat itu keluar dengan baik di mulut Pija. Bukan Pija saja yang menangis tapi, Ara pun sama. Menangis terluka mendengar hal itu. "Gue takut, semua orang yang gue sayang, pergi Ra."
Wajar jika Pija takut hal itu terjadi. Karena sempat beberapa kali Pija menyalahkan dirinya mengenai ke pergian Mama dan Papanya.

"Usst, ngga boleh gitu Ja. Lo ngga bisa mempukul rata apapun yang terjadi di hidupmu. Semua ini takdir dari sang pemilik." Ara sadar akan sulit, membuat Pija berpikir waras dalam keadaan seperti ini. "Lo hebat. Itu yang perlu lo tanamkan di otak cantikmu ini Ja."

Sahabat ko gitu! 21+Where stories live. Discover now