32 - Married.

57 2 2
                                    

Tekan bintang terlebih dahulu
sebelum kalian membaca cerita ini.

Terima kasih ><

_____

"Guys, gue mau nikah."


Kaget ga lo daritadi Yuna diam aja tiba-tiba malah ngomong gitu ke gue dan Wafa.

"HAH?!" respon kita bersamaan. Yuna mengangguk, ekspresinya serius.

"Ada yang dateng ke rumah, dia temen SMP gue dulu." Kata Yuna. "Gue sebenarnya belum siap tapi orang tua gue udah setuju buat nikahin gue sama dia."


"Tapi kok tiba-tiba banget?" Wafa menimpali.

"Yun, lo serius?" gue kurang percaya karena setiba-tiba ini Yuna mau nikah.



"Muka gue keliatan lagi bercandakah?" sahutnya. Gue cengengesan, serius berarti ini anak.


"Yaudah ntar gue kadoin baju dinas ya lima biji," ucap Wafa yang disambut sama hujatan dari Yuna.


Ternyata gini ya jadi dewasa.
Walaupun Yuna bukan teman gue yang pertama kali nikah, tapi gue tetap aja shock. Gue tetap merasa kalau gue tuh masih umur belasan, dan menikah tuh istilahnya masih terlalu muda buat gue.


Wake up, Ira.
Lo sudah umur 23.


"Happy for you Yun," gue tersenyum tulus.

Mata Yuna berkaca-kaca. "Nanti gue kasih kain bridemaidnya ya buat lo berdua."



Sehabis itu kita mellow bareng-bareng dan ngobrol banyak hal lagi. Nggak kerasa sekarang sudah malam, Kak Nandra udah ngejemput gue didepan lobby mall.

Padahal dia habis pulang dari jadwal kerjanya. Tapi dia kukuh mau jemput gue.


Dia tersenyum saat gue keluar dari mall.
"Ra, aku boleh minta tolong?"

Gue mengangguk. "Minta tolong apa kak?"

Dia menyelipkan rambut gue ke belakang telinga. "Tolong jangan terlalu cantik, aku jadi ngga tenang melihat kamu secantik ini diluar." Katanya, ia tersenyum.




"Ayo ah ke parkiran,"

Gue langsung jalan tanpa menghiraukan kak Nandra yang bilang kalau gue salah tingkah.
Ya walaupun bener sih, tapi gombalan maut dia benar-benar bahaya sekarang.



"Salting banget?" kata dia ketika kita berdua udah masuk didalam mobil.

"Nggak idih," elak gue tanpa menatap kak Nandra.

"Keliatan, tahu." ia mencubit hidung gue dan langsung menjalankan mobilnya, keluar dari parkiran mall.

Gue masih berusaha biar jantung ini ngga terlalu berdegup kencang.
Norak banget ga sih karena gombalan kayak gitu gue masih deg-degan mampus.


"Aku serius," ujar kak Nandra setelah keheningan diantara kami.

"Aku serius sama ucapan aku yang tadi. Kamu cantik banget sampai bikin aku takut, takut kehilangan kamu buat yang kedua kalinya. Cukup karena kebodohan aku yang dulu, aku kehilangan kamu. Aku nggak mau sampai hal itu terulang lagi." kak Nandra menarik napas. "I really love you, Ra."


Gue nggak bisa menahan senyum ketika kak Nandra bilang gitu. Ekspresi wajah dan cara bicaranya ketika dia bilang nggak mau kehilangan gue terus berputar didalam kepala gue.

"Kakak ngga akan tau rasanya ketika kakak bilang masih sayang aku. Aku yang egonya segede langit langsung luluh dan terharu ternyata masih ada cowok yang sayang sama aku."


Ia menatap gue dibelakang kemudinya. "You deserve it, sayang."

"Bahkan kamu pantas mendapatkan seluruh cinta dialam semesta ini."



Kan, gombal lagi si dokter gadungan itu.


Gue terkekeh, berusaha menepis rasa salting yang daritadi masih mendominasi.
"Kakak juga, deserve all my love. Khusus rasa sayang dari aku aja, ngga boleh sama yang lain."

Dia terkekeh. "Ajaran siapa sih jadi bisa gombal?"

Gue menatap kak Nandra sambil tersenyum. "Kak, nikah yuk?"

Kak Nandra melihat gue dengan ekspresi ngga percaya.
"Yuk, kita ke KUA sekarang."


"Selesaiin dulu kuliah kakak baru kita nikah."


Mimik wajahnya cemberut, dia tahu kalau kuliah dia baru selesai sekitar dua tahunan lagi.

"Besok aku mau ke rumah mama dan papa kamu, sekalian bawa orang tuaku."

Giliran gue yang nggak bisa berkata-kata.
Padahal niat gue bercanda.

Hehehe nggak deng. Gue juga mau kok nikah sama kak Nandra. cuma jangan sekarang.
Gue masih mau menikmati masa muda gue dan masih mau buat kerja sebagai perawat.
Karena jujur aja, rasanya sayang banget kalau gue terburu-buru nikah, kuliah keperawatan mahal dan susah.

"Aku serius sama ucapan aku, kakak selesaiin dulu kuliahnya baru kita married." Ujar gue. "Sekalian aku nabung buat biaya nikah juga kak."

"Aku ga mau kamu patungan buat biaya nikah kita. Aku mau istimewain kamu, kamu cuma perlu jadi istri aku tanpa harus mikirin hal yang kayak gitu. Kamu cukup kerja buat diri kamu sendiri, senangin diri kamu disaat aku lagi nggak bersama kamu." Kak Nandra menarik napas. "Menikah itu sekali seumur hidup, dan aku mau kamu udah siap buat menerima aku sebagai suami kamu nanti."

"Seperti yang aku bilang tadi, you're deserve all love in this universe, Ira."

Gue termenung, menyimak omongan kak Nandra.
Ya tuhan, kok bisa ada laki-laki seeffort kayak dia?

"Semangat kuliahnya," ucap gue kemudian.

Kak Nandra mengangguk. "Tunggu aku ya,"




Pilihan gue udah bulet buat nikah sama kak Nandra sehabis dia selesain study spesialistnya.
Sebenarnya tujuan gue baik, gue nggak mau menambah beban pikirannya kalau misalnya gue dan dia nikah sekarang.















Mobil kak Nandra menepi diparkiran area rumah gue. Ia mematikan mesin mobil lalu matanya menatap gue.

"Ayo turun,"

Setelah turun dari mobil, ia melangkah menghampiri gue. Tangannya membelai helaian rambut gue yang bergerak karena angin.

"Padahal kamu belum masuk rumah, tapi aku udah kangen." Ucapnya, menyelipkan raambut ke belakang telinga gue.

"Besok kita ketemu, kan?"

Gue berharap dia ngomong iya tapi nyatanya kak Nandra diam aja.
Matanya terus menatap gue, seperti mengisyaratkan sesuatu.

"Iya kan kak?" ulang gue. Dia masih bergeming.

Setelah beberapa detik, kak Nandra tersenyum tipis.
"Iya, sayangku." ia mencubit pipi gue. "Udah sana masuk, besok kamu kerja kan?"


Gue mengangguk tanpa menjawabnya.
Kak Nandra pamitan lalu pergi bersama mobilnya. Meninggalkan gue dalam keheningan.
Entah kenapa, perasaan gue jadi nggak enak.

Plis, semoga ini cuma perasaan gue aja.




To be continue

Asisten Dokter Where stories live. Discover now