"Engga Kak." Jawab Pija sambil mengeleng setelah menengok ke belakang melihat Kak Aziz yang bertanya. Memang Pija memilih tempat makan di ujung dan hanya 1 kursi lalu meja yang bergabung dengan dinding membuat Kak Aziz hanya memiliki satu pilihan tempat duduk.

"Yah sudah." Kak Aziz kembali duduk. "Muka lo kaya sedikit pucat, Ja."

"Ngga pakai liptint deh kayanya kak, jadi gini di lihatnya pucat." Kak Aziz tidak mengenal alat tempur perempuan, jadi di hanya beroh. Dan berpikir hanya karena 1 make up yang tidak di pakai terlihat pucat tentu hal itu luar biasa menurut Kak Azi.

"Eh, Ara ngga pernah keliatan. Dia sibuk apa sih?"

Pija yang baru menyelasikan minumnya menjawab. "Sibuk dengan endorsannya kak dan beberapa kelas Kak. Endorsannya banyak dan dia banyak  mata kuliah mengulang karena anbsensinya yang selalu kurang." Pertanyaan Ara dimana? Tentu tidak asing di tujuhkan kepada Pija. Karena Pija dan Ara kalo di kampus seakan pinang di bela dua yang kemana-mana selalu sama. Kecuali akhir-akhir semester ini.

Percakapan mereka sudah kemana-mana dan beberapa teman Kak Aziz ikut duduk di meja mereka. Sehingga ke hebohan di mejanya tidak bisa di bendung. Pija hanya jadi penikmat pendengar obrolan senionya. Jam sudah menunjukan setengah sebelas dan Pija memilih untuk pergi tapi, karena tidak memiliki tujuan Pija memilih pulang ke kosnya.

Merebahkan dirinya di kasur kesayangnya. Lalu tidak lama kantuknya hadir karena sebelum sampai kos Pija singgah di warung untuk membeli nasi campur dan obat sakit kepala, jadi wajar saja jika Pija langsung tertidur setelah makan dan meminum obat.

Bunyi di ponselnya tidak lagi di hiraukannya. Selalu tangganya mencoba mengeser icon hijau dan pada akhirnya menonaktifkan ponselnya dengan mata tertutup. Nyaman tapi, tidak senyaman badan Bang Al saat di peluknya itu tidak masalah yang jadi masalah saat ini bukan hanya ponselnya menganggu kini juga ketukan di pintu kosnya.

Sepengaruh itu, obat yang di minunnya. Membuka matanya seakan susah di buka. Bagaimana tidak, makan nasi campur lalu minum obat sakit kepala 2 butir, membuat Pija merasa 'nyaman timbul akibat meredanya nyeri kepala memang bisa saja membuat seseorang menjadi lebih mudah tidur'. Itu kalimat yang terakhir saat Pija mencari tahu soal sakit kepala dan efek obat yang di minum di google.

Ketukan itu tambah menyebalkan di telingah Pija. Tapi, untuk menghentikan ketukan pintu hanya 1 caranya yaitu membuka pintu kamar kosnya dan mendapati suaminya tanpa senyum ada di depannya. "Abang." Kantuk Pija sedikit berkurang melihat siapa yang datang.

Tanpa babibu setelah mengucap salam, Bang Al masuk dan duduk di tempat tidur, begitu saja. Pija pun memilih diam dan hanya menjawab salam Bang Al. Duduk di kursi belajarnya dan memperhatikan apa yang suaminya ingin lakukan. Kantuknya pun sudah hilang saat melihat muka suaminya yang asam. Pija tidak ingin salah melangkah atau kalimatnya yang keluar dari mulut jadi boomerang jadi mending diam adalah pilihnya.

"Ngga mau minta maaf, yang?" Beberapa menit kemudian Bang Al bersuara. Kening Pija berkerut dan tidak tahu apa yang salah dengannya. "Ngga tahu salahnya, Yang?" Tanya Bang Al saat menyadari kerutan di kening istrinya terlihat dan anggukan istrinya jadi pembenar asumsinya. "Duduk sini." Sebuah perintah itu tentu tidak bisa di tolak.

Pija berpindah duduk tepat disamping Bang Al. Tangan Pija langsung di genggam. "Tadi sakit kepala, yang?" Pija mengangguk dan pandangannya tertuju pada meja lipatnya yang belum di bersihkannya bekas nasi campurnya dan obat sakit kepala masih berada. "Sekarang gimana?" Kini Bang Al bertanya sambil melihat jelas wajah Pija.

"Ngga sakit lagi kan sudah minum obat. Cuman ngatuk jadinya."

"Kenapa ngga telpon?"

Kini Pija menatap Bang Al. "Kan Abang tidak mau bicara sama aku. Jadi, aku takut telponnya." Jujur Pija.

"Maaf, tadi Abang sedikit kecewa karena tadi malam---."

Potong Pija dengan cara menyindir "Karena aktivitas Abang yang enak-enak, terganggu?"

"Bukan itu Yang."

"Terus."

"Kamu ngga jelasin siapa yang nelpon."

"Kamu juga ngga nanya." Jawab Pija dengan acuh lalu membuang mukanya ke depan. Tidak ingin menatap lebih jauh suaminya. "Tapi, pasti kamu juga marah karena itu kan." Tebak Pija sesuai sasaran.

"Iya tapi, Abang lebih marah karena kamu ngga jelasin siapa yang nelpon dan sialnya nelponnya lama setelah itu kamu langsung tidur kan nyebelin." Terangnya. "Yah, salah Abang juga harusnya Abang nanya. Harusnya Abang tidak pikir yang tidak- tidak. Jadi Abang minta maaf Yang." Sudah terhitung 2 kali Abang Al meminta maaf kepada Pija sejak mereka menjadi suami istri.

Pija mengangguk. "Yah, aku juga minta maaf Bang. Cuman saran saja. Abang kalo marah jangan diam. Aku takut."

"Haha, takut apa? Abang cuman diam ngga marah-marah atau ngomel ngga jelas, Yang."

"Mending Abang marah dari pada diam." Jujur Pija, tidak tahu harus ngapain kalo Abang Al mendiaminya. Yang ada di kepalanya yaitu menjauh sampai Abang Al menyudahi keterdiamannya. "Abang sudah makan?" Tanya Pija karena melihat jam sudah menujukan pukul 1 siang.

"Belum, yang."

"Yah udah, sini makan Bang. Tadi aku beli 2 bungkus nasi campur. Niatnya memang buat Abang satu." Jelas Pija sambil membersihkan meja lipatnya dan mengantinya dengan nasi campur yang masih ada di plastik yang memang dia peruntukan untuk Bang Al. "Aduh, kayanya sudah dingin Bang."

"Ngga apa-apa." Ada yang menghangat yang dirasa Bang Al. Saat mengingat bahwa Pija, istrinya sepeduli itu dengannya. Senyum Bang Al terbit secerah matahari di siang hari.

****

Sulbar, 04 Oktober 2023

Sahabat ko gitu! 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang