6. Debt of Gratitude

151 20 3
                                    

Di acara realita ini, tiada detik tanpa sorotan kamera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di acara realita ini, tiada detik tanpa sorotan kamera. Bahkan sesampainya di penginapan tujuan, setiap sudut sudah diperlengkapi kamera-kamera kecil pengintai.

Hasil akhir dari misi cepat-cepatan menuju tempat perkemahan dimenangkan oleh kelompok pertama. Tentunya atas jasa Choi Yeonjun yang menonjol sebagai bintang pop star ambisius tak terkalahkan. Semua rintangan bagai permainan ping-pong santai baginya. Sebagai hadiah kemenangan, kelompok satu diberikan jamuan bakar-bakaran daging premium yang tidak boleh kelompok dua cicipi sebagai konsekuensi kekalahan mereka.

Jessi eonni merengut dari dalam villa tempat para wanita tinggal yang berhadapan langsung dengan hamparan padang rumput luas pengitar danau serta villa pria di seberang. Kelompok dua bernasib menonton dari jauh saja. "Bisa-bisanya kita berhenti untuk menunggu Bongseok buang air besar di hotel?? Sungguh penyesalan terbesarku."

"Panggilan alam tidak bisa ditolak, Eonni." Timpal Yeji.

"Tapi menghabiskan waktu satu setengah jam??? Kurasa dia puasa buang air besar tiga bulan!"

Yeji tertawa pelan, "Eonni, kalau dia kecepirit, bukankah akan meracuni kita semua yang semobil dengannya?"

"Yeji-ah. Aku bingung harus bersyukur atau tidak. Ah sudahlah, aku ingin berendam di jacuzzi. Mau bergabung?"

Wajah Yeji memerah malu akan ajakan Jessi yang menurutnya, cukup lantang bagi orang yang baru bertemu. "Ah, terima kasih Jessi eonni. Tapi aku sudah mandi tadi."

Jessi mengangguk cuek. "Okay then. Your loss, girl."

Di acara realita seperti ini, semua gerak-gerikmu terdeteksi. Tidak ada yang disembunyikan. Bahkan aib terdalammu. Mau tak mau, Yeji terus berwaspada dalam bertingkah. Bukan dibuat-buat, hanya lebih dijaga agar enak dilihat. Menunggu perjamuan kelompok satu selesai sepertinya butuh beberapa jam, bahkan mungkin hingga larut. Yeji sudah mulai keroncongan dan memutuskan untuk merakit kompornya sendiri.

Di luar, udara dingin menusuk hingga ke ujung jari. Tempat kamping ini hanya menyediakan dua bangunan villa kecil dengan kasur dempet-dempetan, dan perkarangan luas yang langsung menyediakan danau tak berkehabisan. Untuk memasak, ia perlu menyiapkan peralatan dari nol. Ia tak melihat Kenta ataupun Bongseok. Ah, sepertinya tertidur atau menikmati pemandangan, Yeji tak begitu yakin.

Yeji membawa kompor portabel bersamanya, menata meja dari boks kayu sebelah villa dan mulai meracik ramen instan yang ia temukan cuma-cuma di laci karavan. Satu masalah muncul. Yeji tak tahu kenapa gas yang baru ia pasang tak kunjung menyala kobarkan api. Cetak! Cetek! Cetak! Cetek! "Kok tidak nyala, ya?"

Cetak! Cetek! Cetak! Cetek! BYAR!

"OH TUHAN!" Kobaran api besar menyambar pergelangan tangan Yeji, menjilat-jilat jaketnya, dan mulai menjalar naik. "Ani! Ani! Aniyaa!" Panik ia memukul-mukul api dengan kain lap. Sayang, tak membuahkan hasil. Ia lalu berlari menuju danau, berharap air sejuk danau mampu meredamkan api yang kini berkobar bagai amukan neraka di tangan kanannya.

VarietYou (VU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang