"Kamu PNS?" tanya ayah balik.

"Bukan ayah." Raka menggeleng.

"Anora dulu saya suruh masuk PNS gak mau, padahal temennya banyak yang masuk," sambung beliau.

Saat itu Raka sedang duduk di kursi dekat ranjang ayah. Ibu memberikan segelas teh hangat dari termos yang ia siapkan di rumah tadi.

"Saya... kerja arsitek ayah," ucap Raka.

"Arsitek? Gede tuh gajinya. Udah S2 juga?" balas ayah.

"Iya ayah."

"Nanti ajak Anora masuk S2 ya. Dia ke Jakarta mau masuk S2, tapi dianya mau kerja dulu."

"Iya ayah."

"Sebenarnya gak S2 gak papa, cuman.... semoga anaknya berkecukupan aja buat seterusnya."

Mereka mengobrolkan banyak hal lain selama bertemu itu. Raka mendengarkan segala cerita Anora dari ayah dan ibu. Bagaimana anak perempuan itu tumbuh dan selain itu, ayah mengeluhkan tentang sakitnya ini juga. Beliau sering kambuh sakit pernapasannya karena pernah bekerja menjadi kuli bangunan.

Beberapa menit sebelum pukul sembilan dimana waktu konsultasi untuk ayah, Raka mendekat sedikit lagi pada beliau.

"Ayah, nanti kalau saya.... mau ngelamar anak ayah- Anora, saya mau minta izin sama ayah."

Baik kedua orang tua itu mereka terdiam. Raut kebingungan terlihat jelas di wajah satu sama lain. Raka sadar karena pastinya ini akan terlalu mendadak.

Ibu pun menengahi keduanya, "Nak, kamu yakin? Kamu udah kenal baik-baik sama Anora? Nora anaknya jarang kelihatan sama temennya- ibu ragu tiba-tiba kamu ngelamar gini."

"Saya kenal baik sama Anora, Bu. Mungkin... karena kita udah jarang ketemu jadi saya mau coba deketin dia dulu. Saya ngomong gini, takutnya nanti gak bisa ketemu lagi terutama sama ayah. Karena saya sibuk dan ayah.... ayah pasti lagi fokus sama pengobatannya nanti," jelas Raka.

"Kami orang miskin," celetuk ayah. Bibirnya terkatup dengan tegas, "kamu bakal sengsara punya mertua kayak saya. Abangnya itu kakinya buntung satu, kamu mau punya ipar kayak dia? Dia udah banyak dikatain sama orang-orang, sampe malu dan disumpahin gak bakal nikah."

Suasana berubah cepat menjadi tegang. Raka terdiam dan merasa terpojokkan di sana. Seolah ayah sudah menolaknya secara mentah-mentah. Namun sekali lagi ia mencoba tenang, ia harus mengejar waktu sebelum dokter akan tiba.

"Saya terima semuanya. Ayah, ibu, Bang Juan dan Anora sekali pun- saya udah suka sama Anora dari waktu SMA. Saya udah nyari dia kemana-mana selama itu dan gak ada satu pun temennya yang tahu. Saya jatuh buat Anora, Pak. Bahkan sebelum saya punya anak dulu, saya udah nyariin dia."

"Apa yang kamu sukai dari Anora? Anaknya pendiem, mau kamu apain dia?"

Ibu menyenggol ayah untuk berbicara sedikit lembut. Suasananya sedikit tegang sekarang.

"Saya suka semuanya. Pertama kali saya bener-bener ketemu Anora waktu ujian tengah semester dulu. Saya minta maaf, kalo saya gak bisa bantu ayah yang jatuh sakit pas di gerbang sekolah dulu. Saya cuman bisa ngelihat dan ragu buat ngedeketinnya."

Percakapan mereka tak berlangsung lama. Dokter sudah masuk lebih dulu bersama seorang perawat untuk mengganti infus ayah. Raka hanya bisa berdiri jauh dari ranjangnya. Mendengar semua keluhan ayah, ia menyadari bahwa sakit yang dialami beliau benar-benar sudah cukup parah.

Kunjungan dokter berakhir dalam beberapa menit setelahnya. Ayah melirik lagi pada Raka yang masih menunggu di ruangan itu. Raka pun mendekat padanya.

butterfly disaster Where stories live. Discover now