23. Permainan Menuju Pulang

923 204 71
                                    

Pukul lima sore, ketika kelas sudah berakhir dan meniggalkan sosok Helena seorang diri di dalam ruangan miliknya ini. Tiga puluh menit yang lalu ia hadir dengan senyuman riang untuk menemani murid-muridnya selama berlatihan, tapi kini senyuman itu hilang.

Hanya Helena yang sekarang tertinggal bersama rasa takutnya. Dimana ia tengah berhadapan seorang diri di depan cermin besar. Dalam satu kali tegakkan ia mulai melangkah sambil berjinjit dengan ujung sepatu pointenya. Lalu ia mulai berputar, melompat, dan membentuk banyak gerakan rumit lainnya.

Helena sesekali menahan napasnya, ia berputar tanpa henti sambil menaikkan satu kakinya dan bagian ini kerap menjadi titik terberatnya dalam berlatih balet.

Sedangkan di sisi lain, di ambang pintu ruangannya yang tampak terbuka sedikit itu, terdapat sosok lain yang diam-diam mengintip ke arahnya. Helena tak sadar karena sibuk menari, hingga beberapa detik berlalu dari gerakannya itu, putarannya perlahan melambat dan semakin melambat. Setelahnya ia pun segera berhenti.

Ia menunduk dengan satu kaki tertarik ke belakang— seolah memberi gerakan hormat indah kepada para penonton.

PROOK PROOK

Satu suara mengejuti gadis itu, ia menangkap segera sang pelaku yang berada di depan pintu ruangannya. Helena tersentak dan dia kehilangan keseimbangannya segera.

BRUUUK!

Begitulah bunyinya, terdengar keras dan sangat menyakitkan untuk gadis itu. Terutama di bagian betisnya, ia meringisi saat menyentuh di bagian sana.

"Bagus."

Ketika pelaku mencoba memasuki ruangannya, di saat itu Helena mulai berdiri dengan cepat.

"Bapak ngomong sama saya?"

"Menurut kamu?"

Tak ada yang menduga, bahwa yang memasuki ruang kelasnya saat ini adalah sang atasannya yang sempat ia temui beberapa hari yang lalu. Helena nyari salah tingkah saat melihat Azka di depannya.

"Saya, Pak?" Sekali lagi gadis itu menunjuk ke arah dirinya.

Azka mengangguk dan Helena menyengir pelan.

"Bapak mau nyari Anora?" tanya gadis ini.

Azka menggeleng, "Saya ada urusan lain ke sini buat rapat," jelasnya.

Helena mengangguk pelan. Di ruangan sunyi bersama orang asing yang merupakan atasannya ini, ia kerap meneguk ludahnya untuk menghilangkan sedikit rasa canggung sekaligus segan di hadapannya. Helena sesekali memainkan kukunya dan di ujung matanya ia juga mencoba mencuri pandang ke arah Azka.

"Kamu pernah main Swan Lake?" tanya Azka tiba-tiba.

Gadis ini menggeleng, "Saya masih belum mahir, Pak. Biasanya di sanggar saya, yang main Swan Lake itu yang udah pro banget."

"Kamu juga udah pro."

Helena menggeleng lemah menanggapi ucapan Azka.

"Saya masih cacat, Pak."

"Kamu harus bisa jadi Swan Lake, se'enggaknya sekali seumur hidup."

"Amin. Itu juga cita-cita saya, Pak."

Dari rasa gugup dan canggung ketika  mereka bertemu tadi, kini Helena mulai merasa dirinya lebih tenang dari sebelumnya. Ia mendapatkan motivasi kecil dari ucapan Azka barusan. Setidaknya ada mimpi yang harus ia gapai, walau hanya sekali dalam seumur hidup.

"Pak—"

DRRTT DRTTT

Suaranya terpotong saat bertepatan dengan munculnya getaran di saku jas Azka. Pria itu langsung berbalik meninggalkan cepat untuk menanggapi panggilan itu. Kini Helena tertinggal sendiri di ruangan itu, tapi ia tak memasalahinya.

butterfly disaster Where stories live. Discover now