15. Tiupan Trauma

900 208 37
                                    

Gerbera Palace

Dulunya Azka pernah tinggal di tempat ini, hingga setahun setelahnya ia memutuskan untuk pergi dan memberikan rumahnya kepada kakeknya yang baru pulang dari Belanda.

Ia meninggalkan surga paling terkenal untuk orang kaya di ibu kota ini. Untuknya, cukup mudah mendapatkan satu rumah di sini tanpa harus bersaing dengan banyak orang di luar sana yang juga merebut tempatnya.

Sekarang Azka sudah memiliki tempat tinggalnya dengan menetap di salah satu apartemen mewahnya di Jakarta.

Maka pagi pada pukul sepuluh ini, ia memutuskan kembali untuk menemui kediaman kakeknya di Gerbera Palace. Sekarang ia terduduk di kursi yang berada di halaman belakang, sambil menyesap teh earl grey miliknya, Azka mengamati dari kejauhan sang kakek yang tengah memberi makan ikan koinya.

Pria tua itu masih cukup kuat untuk beraktivitas dan sangat menghindari tongkat maupun alat bantu lainnya untuk ia bergerak. Setiap pukul sepuluh pagi, kakek pasti juga rajin memberikan makan untuk ikan koinya di kolam pada halaman belakang ini.

Setelah selesai dengan kegiatannya tersebut, maka kakek bergerak menuju tanaman monstera yang berada tak jauh dari kursi seberang Azka duduk saat ini.

"Kakek denger kamu sering keluar kantor." Dan dibukalah percakapan mereka di pagi ini.

Azka menyesap pelan minuman tehnya, kepalanya menunduk menatap cairan bening di cangkir tehnya itu.

"Kemana aja kamu?" tanya kakek.

"Urusan," jawab Azka singkat.

"Dengan pacar kamu?"

Untuk pertanyaan yang satu ini, ia tak kuat menahan senyumnya. Maka Azka menggeleng pelan selagi tersenyum tipis, "Azka nggak punya pacar, Kek."

Kakek pun lantas kembali menuju tempat duduknya lagi. Ia menyesap pelan teh earl grey-nya tersebut, lalu mengedarkan pandangannya ke monstera yang berada di dekatnya tadi.

"Itu akibatnya kalo kamu naruh langsung di matahari."

Pandangan pria muda itu beralih melihat tanaman yang kakeknya maksud itu terlihat daunnya yang mulai mengerucut. Beberapa bercak kuning muncul di sekitar tangkai dan daunnya.

"Hati-hati sama wanita, Azka" Mata pria tua itu diam-diam melirik pada cucunya yang berada di depannya.

Azka menggeleng lemah. Obrolan mereka masih kembali ke pertanyaan sebelumnya. Sang kakek meraih pelan teko tehnya, lalu menuangkan teh tersebut ke cangkir teh Azka.

"Biar Az-"

"Jangan ninggalin pekerjaan kamu hanya karena mereka."

Gerakan tangannya berhenti untuk menahan satu tangan tersebut. Azka menerima tuangan teh yang diberikan kakek kepadanya. Beliau tak biasanya seperti ini, seperti ia pulang dan mereka minum teh bersama, Azka lah yang selalu menuangkan untuknya.

"Azka bisa atur fokus antara pekerjaan sama urusan lainnya."

"Bagus."

"..."

"Kamu nggak mau berakhir'kan kayak orang tua kamu.."

BRAAAK!

Tangan tua itu tak kuat menahan teko tehnya lagi, hingga akhirnya lepas tepat di tengah meja, lalu terjatuh membasahi lilin penghangat di bawahnya. Acara minum teh mereka berakhir dengan sedikit kekacauan yang dibuat oleh kakek.

Azka buru-buru menyerahkan sapu tangannya untuk mengelap tangan sang kakek yang terkena cairan panas teh tersebut. Kulitnya sedikit memerah, tapi beliau tak mengeluh sedikit pun.

butterfly disaster Where stories live. Discover now