4. Titik Ini

1.1K 265 30
                                    

Sudah satu jam berlalu Anora terus merasakan serangan paniknya. Suasana di luar ruangan ini terasa mencekam dan pikirannya tak henti untuk terus membunuhnya dengan berbagai macam ketakutan.

Ini adalah tes wawancara pertamanya di sebuah lembaga pendidikan yang cukup besar. Sekarang sudah tersisa satu orang lagi yang sedang terduduk di dekatnya. Ia mendapatkan nomor urut terakhir karena ia sempat terlambat datang tadi.

Para peserta wawancara di sini adalah orang-orang yang memiliki cukup persiapan dan bahkan beberapa dari mereka  adalah lulusan terbaru dalam beberapa hari terakhir. Mata Anora tak sengaja menangkap nama yang tertulis pada map milik orang yang di sampingnya.

Narasta Dwi Abian

Mungkin dia adalah salah satu dari orang yang merupakan lulusan terbaru itu.

Sekejap kemudian Anora kembali merasa semakin tak nyaman. Perutnya mendadak mual, ia pun tak tahan dan berakhir melarikan diri menuju toilet segera.

BRUUK!

Anora menaruh kasar map dan tasnya di atas meja wastafel. Berulang kali ia mencoba tenang dan tak panik. Bagaimana pun ia harus profesional, walaupun peluang untuk lolos tes ini sangatlah kecil.

Ayah, ibu, dan Juna menaruh lebih harapan padanya. Ia adalah satu-satunya tulang punggung keluarga di kota ini. Jika gagal, maka matilah ia setelah ini. Tapi untuk lolos pun juga tak memungkinkan.

"Nggak.. nggak. Kamu harus bisa, Ra." Matanya menatap cermin itu. Menampilkan bayangan dirinya yang penuh ketakutan.

Sambil menarik dan membuang napasnya selama tiga kali, Anora mencoba untuk tenang. Ia mencuci tangannya demi menghilangkan keringat yang muncul setiap kali ia panik.

Setelah perlahan membaik, ia pun berbalik badan untuk menghampiri lagi tempat tes wawancara itu. Begitu keluar dari pintunya, ia tiba-tiba dikejutkan dengan sesosok pria yang menunggu di depan sana.

"Maaf, tapi anda tadi dipanggil sama pewawancaranya. Anora, 'kan?"

Narasta Dwi Abian. Orang ini adalah yang duduk di sampingnya tadi, ia tahu betul. Alhasil Anora mengangguk, "Iya, itu saya."

Setelah panggilan ini, ia pun bergegas meninggalkan toilet segera. Kini gilirannya sudah tiba dan mendadak seluruh rasa kepanikannya menghilang begitu saja.

Dewi Fortuna kali ini berusaha berpihak padanya.

_________


Setiap tahunnya Elephant Love mendapatkan banyak murid baru untuk masuk ke tempat ini. Sebuah lembaga kursus non akademik di Jakarta bahkan mungkin di Indonesia karena satu-satunya tempat yang paling lengkap untuk melatih bakat anak dari usia empat hingga dua belas tahun.

Tempat kursus ini telah berdiri selama sepuluh tahun lebih dan memiliki banyak penyumbangnya dari berbagai kalangan orang kaya. Beberapa orang tua anak ada juga yang mengajukkan diri untuk menyumbang di sekolah ini. Selain dari mereka beberapa orang lainnya juga menjadi penyumbang paling besar selain dari orang tua anak.

Sella mewakili papanya yang menjadi penyumbang nomor satu paling besar di tempat ini. Karena papa adalah orang paling aktif menyumbang, maka setidaknya ada satu kali dalam satu semester dimana ia harus mengikuti rapat perkembangan Elephant Love.

Bulan ini papa sedang sakit, mau tak mau Sella yang harus menggantikannya. Papa bilang ia harus sering mengikuti rapat ini, walaupun ia sendiri sangat malas menghadirinya—dan juga tak minat berada di dalamnya. Karena beliau akan menyuruhnya untuk menjadi penerus dalam menyumbang tempat kursus ini.

butterfly disaster Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt