delapan belas

1.5K 167 12
                                    

Dua bulan tanpa Gamaliel Angkasa. Aku tidak apa-apa, sungguh. Sejujurnya, aku merasa lega. Aku tidak perlu dibuat bingung akan perasaanku sendiri. Aku bisa kembali menjadi Amora Seraphine yang orang-orang tahu. Libur semester baru saja berakhir dan sekolah kembali dimulai. Liburan kemarin, aku menghabiskan waktu di Singapur, menikmati nyaman yang ditawarkan oleh rumah peristirahatan opa kesayanganku.

"Good morning, Sir." Aku tersenyum tipis sembari meletakkan segelas kopi di atas meja kerja Pak Manuel. Pak di sekolah, Manuel di luar sekolah. Aku cekikikan bak perempuan baru puber di dalam hati. "I just wanna thank you for the lecture yesterday."

Manuel melirikku, melepas kacamata berbingkai tipis yang sumpah mati membuat keseksiannya meningkat sepuluh kali lipat. "Selamat pagi, Amora." Jarinya mengusap samar punggung tanganku yang dingin. "Terima kasih."

Jelas aku bukan anak IPA. Jelas Manuel tidak mengajarku di kelas. Namun tidak ada guru lain yang memberi atensi terhadap kami di ruangan ini. Aku berdeham sekali, sengaja menjatuhkan salah satu barangku di atas permukaan meja kerja Manuel. "Meet me after class," bisikku seduktif saat membungkuk ke arahnya.

Manuel tersenyum simpul, mengangguk sebagai balasan. "Belajar yang benar, Amora."

Aku berjalan keluar dengan hati berbunga-bunga. Apa? Jangan melihatku dengan tatapan sinis. Aku sudah resmi berumur delapan belas. Teknisnya, aku sudah legal untuk menjalin hubungan dengan siapa pun yang kumau.

Masuk ke kelas, aku terpaksa harus memutar bola mata saat mendapati tatapan penuh penilaian dari Samuel dan Sam. Ya, entah sejak kapan keduanya bekerja sama untuk memperlakukanku bak manusia paling hina sejagat raya. Dasar manusia-manusia sok suci.

"Apa?" kataku, bermuka tebal sebelum menjatuhkan pantat ke atas kursi.

"Mor, berhenti sebelum lo kena getahnya sendiri."

"Apa, deh?" Aku pura-pura bego, mengeluarkan cermin dan memoles bibirku dengan lipstick berwarna merah muda. "Bisa kalian berhenti kepo sama urusan gue?"

"Gue tahu lo sedih karena Gam—"

"Gue mau ke toilet," potongku cepat sebelum kembali bangkit berdiri. "Ada masalah lo sama gue?!" seruku sinis saat segerombol perempuan terang-terangan melirik ke arahku. Biasa, anak kelas sepuluh yang baru masuk. Mereka serempak langsung menunduk ketakutan.

See? Semuanya baik-baik saja. Hidupku kembali normal. Aku tidak sedih.

Sampai di depan cermin wastafel, aku menatap bayanganku sendiri. Amora yang cantik, seksi, dan menawan ini tidak akan jatuh hanya karena seorang bajingan tengik. Aku menyalakan keran air, membasuh wajahku cepat saat pikiran-pikiran itu kembali datang.

Bagaimana jika aku tidak pernah mengiakan taruhan konyol Elena? Bagaimana jika sejak awal aku tahu diri untuk tidak masuk ke dalam dunia absurd Gama? Bagaimana jika aku memilih untuk memalingkan wajah saat Gama menunjukkanku sisi-sisinya yang lain—yang tidak pernah dijamah oleh siapa pun?

Saat pintu toilet terbuka, aku buru-buru meraih tisu dan mengeringkan wajah.

"Mor, lo sakit?" Itu Elena.

Percaya atau tidak, semenjak Gama menghilang, Elena menjadi lebih bermoral. Ia hanya diam saat aku melontarkan makian atau perlakuan tidak menyenangkan lainnya.

"Gama nggak pernah suka sama gue. Dia sengaja bilang begitu supaya lo nggak berharap lebih dan berujung patah hati." Elena pernah berkata demikian di minggu kedua kepergian Gama. Apa perasaanku membaik? Tentu saja tidak. Yang ada aku merasa semakin buruk.

"Bukan urusan lo," balasku ketus sebelum berjalan melewatinya.

"Gama lagi ada di Jakarta."

Kalimat itu mau tak mau menghentikan seluruh kinerja sendiku. Apa?

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang