tiga belas

1.8K 203 43
                                    

"I'm okay." Entah sudah berapa kali aku mengulang kata yang sama. "Berhenti minta maaf. Gue nggak akan amnesia hanya karena ini—walaupun gue berharap begitu."

"Lo yakin nggak mau dibawa ke rumah sakit?"

"Samuel Alchari." Aku berujar penuh penekanan.

"Fine." Samuel mengangkat kedua tangan di udara, pertanda menyerah. "At least let me take you home. Lo udah dapat izin dari Bu Ira."

"She's coming home with me." Seperti yang sudah-sudah, Gama kembali hadir. Tas ranselku sudah berada di salah satu bahunya. "Ayo, Amora."

Kalau yang dimaksud Gama dengan balas dendam adalah aku harus melihatnya terus-terusan, maka itu adalah rencana yang bagus. Karena entah sejak kapan, melihat tatapan benci dari kedua mata Gama menjadi begitu berat dan menyakitkan.

"Amora, let me know when you're home."

Gama menyentuh bahu kananku, tidak memberiku kesempatan untuk menoleh dan memberikan balasan. "Walk."

"Lo tahu sekarang lo bersikap kayak diktator menyebalkan kepada budaknya?"

Sepanjang perjalanan kami menuju pelataran parkir, Gama tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hingga tiba di dekat motornya, ia baru bersuara. "Lo nggak akan mati kalau naik motor dengan kondisi seperti sekarang, kan?" Ia menyodorkan helmnya kepadaku.

"Lo mendadak khawatir?"

"Gue nggak mau lo mati sebelum gue selesai dengan ini semua." Gama berujar datar sebelum naik ke atas jok motor. "Hurry up."

Kalau kalian berpikir drama hari ini sudah selesai, kalian salah total. Hujan mendadak turun saat kami masih terjebak di antara hiruk pikuk kemacetan Jakarta. Gama, segala memori samar yang belum bisa kuingat dengan baik, serta rasa penyesalan yang kini menjadi semakin jelas—tiga hal itu membuatku nekat melompat turun dari motor Gama dan berlari menembus jalanan untuk mencari tempat teduh terdekat.

Duduk bersandarkan dinding menjijikan penuh kuman, aku menyentuh area jantungku yang berdebar dengan irama gila.

"Amora .."

Aku menjerit saat suara familier itu berputar di kepalaku. Who was that? Abednego? Aku menutup wajah untuk meredam suara tangisan. "Maaf, maaf, maaf .."

Ya. Saat itu hujan. Kami berada di hutan, berlari dengan telapak kaki telanjang. Hanya ada kami berdua. Lalu .. lalu .. pisau. Aku memegang pisau penuh darah.

"You killed him, Amora. Ingat itu baik-baik. Kamu yang membunuh bocah tidak bersalah ini. His blood is on your hands."

Tidak. Tidak mungkin.

Seseorang menyentuh kedua bahuku, mengundang jeritan histeris serta respons refleksku untuk melakukan perlawanan.

"Hey, hey, it's me!" Perlahan, wajah Gama muncul dari balik genangan air mata yang menghalangi penglihatanku. "Breathe." Ia mencengkeram kedua pergelangan tanganku menjadi satu, menahan segala gerakan histerisku.

Sialnya, tangisanku semakin mengalun secara menyedihkan. Dan dari antara semua orang, Gama tidak seharusnya berada di sini untuk menenangkanku. "I think .. I killed him. I killed your brother."

"Mor, apa yang lo ingat?"

Aku menggeleng kuat, menjatuhkan keningku pada bahu Gama yang dilapisi seragam basah kuyup. "I'm sorry."

"Tell me!" Gama menyentak bahuku, memaksaku untuk menatapnya tepat di mata. "Tell me .." ulangnya lirih dengan nada putus asa yang kentara. "Please, anything."

Bad ReputationWhere stories live. Discover now