empat belas

1.8K 210 3
                                    

Disclaimer, aku tidak mudah menangis. Aku lebih baik memakan sepatuku sendiri ketimbang menunjukkan sisi lemahku di depan orang lain. Namun bagaimana bisa aku bersikap tenang di saat Romeo terlihat mengenaskan seperti sekarang? Ya, sepupuku yang bodoh itu lebih memilih berkelahi dengan sepuluh anak Nuta ketimbang berlutut dan menyatakan kekalahan.

"Bajingan! Lo mati nasib gue gimana?!" Aku masih mengguncang-guncang bahu Romeo dengan brutal.

"You'll only end up killing him by doing that." Suara itu membuatku menoleh ke satu arah dengan pandangan berkunang akibat air mata.

"Gama." Aku mengusap ingus di bawah hidung. "Kok lo bisa ada di sini?" tanyaku dengan suara serak.

Gama tidak menjawab pertanyaanku, bergerak cepat mengeluarkan botol air dari tasnya. Aku hanya bergeming saat Gama menuang sedikit air ke tangan, lantas menyipratinya ke wajah Romeo. Punggungku menegak saat melihat aksi Gama barusan membuahkan hasil. Kening Romeo mengerut dalam sebelum kedua matanya terbuka perlahan.

"ROMEO!" seruku dramatis, membantu Romeo duduk dengan hati-hati. "COWOK TOLOL! LO UDAH BOSEN HIDUP?!" Aku menggeplak punggung Romeo, membuat cowok itu sontak batuk-batuk dengan wajah memerah.

"Lo mau bunuh gue?" Romeo melirikku kesal.

Aku mengusap pipiku kasar dengan punggung tangan. "Salah kalau gue khawatir?! Gue nggak mau digentayangin sama arwah lo kalau sampai lo kenapa-napa!" kataku nyolot.

Romeo menyentuh luka di sudut bibirnya, meringis samar sebelum mengulurkan tangan untuk menepuk puncak kepalaku. "Maaf. Lo jadi terlibat gara-gara gue."

Dehaman Gama membuat kami serempak menoleh. Romeo seolah baru menyadari kehadiran makhluk lain di dekatnya. "You know Gamaliel Angkasa." Aku menyedot ingusku, memperkenalkan Gama secara resmi kepada Romeo.

"Of course. Your boyfriend, no?" Romeo menerima uluran tangan Gama dan menarik dirinya berdiri. "Romeo Madhava."

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Kok lo bisa ada di sini?" Aku menatap Gama penuh kecurigaan. "Lo hilang selama satu minggu dan tiba-tiba muncul di tempat antah-berantah ini. Lo mau gue percaya kalau ini semua kebetulan?"

"Memang bukan." Gama memungut tasku dari semen yang penuh debuh. "Sebastian telepon gue. Katanya lo ada di sini."

Aku mendengus keras mendengarnya. "Masih ada sisa kewarasan ternyata itu orang!" sungutku tidak terima. "Tapi gue jadi semakin penasaran." Aku menyorot Romeo serius. "Sebenarnya masalah kalian apa, sih? Kenapa sampai segininya?"

"You don't wanna know." Romeo membalas datar. "Let's go. I'll take you home."

"Gue nggak bilang gue mau pulang." Aku beralih kepada Gama. "Gue masih ada urusan sama pacar gue."

Romeo mengangkat sebelah alisnya, menatap Gama penuh perhitungan. "Take a good care of her. Gue duluan."

Sepeninggal Romeo, hanya keheningan yang melingkupiku dan Gama. Aku berdeham canggung, mencoba mencari kata untuk mencairkan suasana. "Kenapa hilang?"

"Ada sesuatu yang harus gue urus." Gama adalah Gama. Ia tidak mungkin sudi memberikanku jawaban jelas. Dengan gerakan tubuhnya, Gama memberiku gestur agar kita segera keluar dari bangunan terbengkalai tersebut. Aku melangkah lebih dulu, memimpin jalan. "Hati-hati," ujar Gama saat aku tidak sengaja tersandung sebuah balok dan nyaris terjatuh.

Aku melirik ke belakang, menemukan Gama tengah mencengkeram lenganku. "Lo bilang lo mau balas dendam. Seharusnya lo biarin aja gue jatuh, sekalian geger otak kalau bisa."

Dengusan Gama terdengar. Ia berjalan mendahuluiku dengan masih membawa tas ranselku di bahu kanannya. Aku terkekeh melihatnya. Kalau tidak mengingat situasi kami saat ini yang belum jelas antara musuh, teman, atau kekasih betulan, aku pasti sudah memeluknya dari belakang. Bagaimanapun, lagi-lagi ia muncul sebagai seorang pahlawan.

Bad ReputationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang