tujuh

1.8K 222 8
                                    

Aku mengaduh saat Gama mengoleskan salep pada buku-buku jariku. Ia hanya melirikku tak minat, lalu melempar salep tersebut ke atas meja.

"Dia pasti manusia jadi-jadian! Mana ada manusia normal dengan rahang setajam itu?!" Aku menggerutu, menatap prihatin buku-buku jariku yang lebam. "Kayaknya harus dironsen. Kalau ada yang retak, gimana?!"

Gama memutar bola mata, hendak menyalakan pemantik dan merogoh rokok dari saku saat ia seolah tersadar akan sesuatu, lalu tidak melanjutkan aksinya. "Stay away from me. Ini peringatan terakhir."

"Lo takut gue diapa-apain sama cowok tadi? Chill, Babe. Gue bukan boneka rapuh yang harus lo lindungi terus-terusan. Gue nggak punya cita-cita jadi tokoh utama protagonis goblok, oke?"

Gama menatapku lama, lalu mengalihkan matanya sembari mendengus keras. "Cewek keras kepala."

Aku tersenyum bangga mendengarnya, "Stubborn is my middle name." Aku melirik Gama yang tengah fokus dengan pikirannya sendiri, "Jadi? What's your history with Samuel? Apa dia seseorang yang harus gue waspadai sebagai pacar lo?"

"Pacar," kata Gama geli dengan senyum sarkas. "Memangnya gue pernah setuju?"

"Nggak, sih. Tapi .." Aku sengaja menggantung kata-kataku agar mendapat atensi Gama. Berhasil! "Tapi lo juga nggak pernah benar-benar mendorong gue menjauh." Kalimat itu kuucapkan dengan raut serius. "You're rude as fuck, tapi lo selalu menolong gue tanpa pamrih. Dan mata lo—"

"Kenapa dengan mata gue?"

"They're not hatred." Aku memiringkan wajah, menatap lekat kedua mata cokelat terang Gama yang entah sejak kapan sangat kusukai. "Lo nggak membenci gue. Itu artinya gue masih memiliki kesempatan untuk membuat lo jatuh cinta."

"Hate is a strong word. Gue nggak mau membuang-buang energi untuk membenci seseorang nggak penting."

Aku mencebikkan bibir. Gengsinya benar-benar setinggi langit, ya? "Berarti lo nggak menyangkal fakta kalau lo bisa aja jatuh cinta sama gue di masa depan, kan?"

"You wish."

"Minuman paling enak itu ludah sendiri, loh, Pacar."

Hanya untuk satu detik yang tidak terasa nyata, aku menangkap senyuman tipis di bibir Gama. Apa aku salah lihat? Pasti begitu. Dering ponselku menyentak kami dari keheningan. Ah, sialan. Siapa yang merusak momen romantisku dengan Gama?!

"Shit," umpatku spontan saat melihat nama si pemanggil. Bagaimana aku bisa lupa kalau Austin pulang hari ini? Ia pasti mengamuk saat tahu kalau adiknya yang paling imut ini tidak ada di rumah padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi! "Gama, gue harus pulang sekarang!"

"Oke, sono. Nggak ada yang melarang."

"Ish! Lo mau gue diculik dan diperkosa sama supir ojek?! Lo mau merasa bersalah seumur hidup?!"

Gama menggeleng samar, tapi tetap bangkit berdiri setelahnya. Tanpa diduga-duga, ia melempar jaket ke arahku. "Buruan atau gue tinggal."

Senyumku mengembang lebar. Sesegera mungkin, aku melompat berdiri dan berlari mengikuti langkah lebar Gama menuju motor besarnya.

Jakarta pukul tiga pagi dan Gama dalam rengkuhan lenganku. Terasa sangat tidak nyata.

*

Pernahkah aku katakan sebelumnya kalau Austin Mode Mengamuk itu sangat menyeramkan? Kalau belum, aku akan mengatakannya sekarang. Kakakku yang tampan itu boleh saja merupakan pribadi yang penyabar dan dewasa, tapi di waktu tertentu ia bisa menjadi sangat protektif dan bisa berubah menyeramkan kalau mengamuk. Austin paling tidak suka kalau aku pulang ke rumah lewat tengah malam, apalagi tanpa kabar. Itu adalah peraturan tidak tertulis yang ia mau aku turuti hingga setidaknya lulus SMA.

Bad ReputationWhere stories live. Discover now