delapan

1.9K 265 12
                                    

Kalau kalian berpikir Gama akan mengambil tindakan atau menyeretku keluar dari kantin, perkiraan kita sama-sama meleset. Ternyata dia jauh lebih cuek daripada dugaanku. Unbothered king indeed.

Gama hanya menatapku malas secara sekilas sebelum meraih banyak tisu dan menyodorkannya kepada Elena. Perhatian orang-orang semakin berpusat pada kami.

"Eye for an eye. Lo harus bersyukur karena gue nggak sepsikopat lo, Kakak." Aku beralih pada Gama dan memberikan senyum paling manis. "Hai, Pacar. Kamu nggak lagi selingkuh, kan?"

"Are you not bored?"

"Hm? Sama lo? Tentu aja enggak."

"Being a drama queen." Ouch. Agak menyakitkan. "Pergi. Gue nggak suka jadi pusat perhatian."

"Tanpa gue pun, lo akan selalu jadi pusat perhatian, Sayang."

"Setidaknya bukan karena drama murahan." Gama menampilkan senyum sinis yang membuatku semakin marah. Kenapa dia bisa bersikap sebaik dan seramah itu kepada Elena tapi tidak kepadaku? Memangnya aku hama penyakit? Apa yang Elena miliki dan aku tidak? "Apa bahasa gue masih kurang jelas? Get lost."

Aku mengepalkan kedua tangan kuat di sisi tubuh. Tidak biasanya aku sesensitif ini. Pasti akibat datang bulan yang sebentar lagi akan datang. "Mending drama murahan daripada reputasi kriminal lo." Kalimat itu keluar tanpa bisa kuproses dengan baik. Aku sukses membuat satu kantin terdiam.

Gama yang tadinya sudah meraih sendok kini kembali mengangkat wajah. Tidak, ia tidak terlihat marah. Gama tidak pernah menunjukkan emosi secara jelas. Jantungku berdetak gila saat Gama bangkit berdiri, secara perlahan mengikis jarak di antara kami.

"Apa lo melupakan satu aturan, Amora?" Sungguh. Aku berdoa agar suara debar jantungku tidak tertangkap telinga Gama. "Jangan pernah," Wajah Gama berangsur mendekat, "memanggil seorang kriminal dengan sebutan kriminal di depannya langsung. We hate it."

Aku meneguk ludah, mati-matian berusaha menguasai diri. Aku takut. Namun lebih dari itu, aku terpesona dengan wajahnya yang luar biasa elok!

Mataku turun ke bawah, salah fokus dengan bibir Gama yang tidak menunjukkan rona hitam sekalipun ia kerap merokok. Bagaimana jika aku menciumnya di sini—di depan umum? Tujuannya agar semua cewek-cewek gatal tahu kalau Gama hanya milikku. Dan supaya aku memenangkan taruhan dengan Nenek Lampir.

Aku hanya perlu sedikit memajukan wajah untuk meninggalkan kecupan singkat pada bibir Gama berkat posisi cowoi itu sebelumnya. Riuh kembali menguasai setiap sudut kantin begitu aku kembali membuka mata. Yeah, I did it.

Perkiraanku hanya dua. Antara Gama mengamuk atau dia pergi begitu saja seperti yang sudah-sudah. Namun aku salah. Gama kembali mengukir senyum miring, tanpa aba-aba balik menciumku—dan saat aku bilang mencium, di sini ia bukan hanya menempelkan bibir seperti yang kulakukan barusan atau sebelumnya, tapi benar-benar mengulum bibirku seperti seorang profesional!

"Eye for an eye," kata Gama begitu ciuman kami usai. "You stole my first kiss. This is my revenge."

Aku lupa kapan terakhir kali pipiku memerah hanya karena seorang cowok. Sepertinya sewaktu SMP. Dan Gama berhasil membuatku kembali menjadi bocah baru puber dengan kedua pipi merah dan panas.

*

"Heh, mau ke mana?!" seruku spontan saat Gama menunjukkan tanda-tanda akan pergi.

Kami berdua tentu saja tidak akan lolos dari hukuman setelah membuat satu sekolah heboh. Bu Jemma menyuruh kami membersihkan gudang tua yang luar biasa jorok dan horor—yang sebetulnya harus kusyukuri. It'd be a whole different story kalau guru BK menyebalkan itu memanggil orang rumah.

Bad ReputationWhere stories live. Discover now