06 pemberitahuan di ruang makan

557 58 2
                                    

Kayela sudah siap dengan kaus berwarna biru muda dan rok krem setinggi lima centimeter di atas lutut ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Ia segera membuka pintu dan mendapati Rinda.

"Pak Jordan sudah menunggu di ruang makan."

Masih ada 5 menit lagi sebelum jarum jam mencapai pukul setengah tujuh, Kayela tidak menyangka bahwa mereka akan sarapan sepagi itu. Tadinya ia berencana untuk turun ketika sudah setengah tujuh tepat, tetapi karena Rinda sudah datang maka ia segera menutup pintu di belakangnya dan mengikuti langkah wanita itu.

Ayah dan keempat kakaknya sudah menempati kursi masing-masing di meja makan. Seperti saat makan malam, Kayela mengambil tempat duduk di sisi kakak sulungnya dalam diam. Di seberangnya ada kakak kembarnya dan Milan, Sena yang duduk tepat di depannya.

Keempat kakaknya kemudian memulai sarapan mereka, lagi-lagi berupa roti yang sepertinya merupakan menu sarapan wajib, sedangkan Jordan hanya meminum secangkir kopi sambil melihat entah apa di layar tabletnya. Pria itu terlihat sangat serius dengan kacamata yang bertengger di batang hidungnya.

Kayela berusaha mengusir kecanggungan yang menyelimuti dirinya saat yang lainnya terlihat biasa saja dan tidak terganggu dengan kehadirannya, tidak seperti makan malam pertama mereka. Tangannya terulur untuk meraih kotak jus jambu untuk dituangkan ke dalam gelasnya hingga memenuhi setengah gelas. Kemudian ia minum dalam diam dan berusaha untuk tidak melakukan kontak mata dengan siapa pun, sembari dalam hatinya berharap sarapan bersama itu segera selesai.

"Kamu hanya akan minum itu?"

Jendra yang tiba-tiba berbicara di sampingnya membuat Kayela terkejut. Pegangannya pada gelas hampir melemah, tetapi untungnya tidak sampai menjatuhkan gelas itu.

"I-iya." Gadis itu menjawab tanpa menatap pada kakak sulungnya itu.

"You should eat something."

"My tummy is not feeling well... but this juice is fine."

"Do you want to take some medicine?" Jordan berimbuh, ikut menaruh atensinya. "Or maybe I could call doctor."

"Nggak, gak usah." Kayela segera menjawab dengan kepala yang bergerak cepat ke kanan dan kiri. "Terima kasih, tapi perutku gak sesakit itu." Tentu saja ia berbohong, sedari awal tidak ada perut yang sakit.

"Are you sure?"

"Iya."

Berada di bawah tatapan semua orang membuat Kayela diselimuti kecanggungan dua kali lipat. Untungnya tidak berlangsung lama karena Jordan kembali pada tablet di tangannya sedangkan yang lain melanjutkan sarapan mereka. Lagipula siapa yang mau peduli pada gadis kecil yang mengeluhkan sedikit sakit?

"I'm finish," ujar Milan setelah menghabiskan kopi miliknya yang tersisa di cangkir. "Let's straight to the point, Dad, still have my classes."

Jordan akhirnya menaruh tabletnya di atas meja dan melepaskan kaca matanya. Sebelum mulai berbicara ia memandang semua anaknya secara bergantian.

"I have some works to do with Arkatama, and it'll take around two till three months. While I'm not here, Jendra will take the responsibility of you all. Baskara will stay here and keep an eye on, too. I don't want to hear any unpleasant reports from him."

"Is it just that?" tanya Gara yang merasa bingung, pasalnya selama ini sang ayah akan langsung pergi begitu saja dan akan mengabari ketika sempat. Ia dan saudaranya yang lain sudah terbiasa.

"Well, since Kayela is with us now, I want all of you to take care of her. And, Sena, you will be deactivate awhile from the duties."

"Why it have to?" Sena langsung menyatakan protesnya. "You can't just deactivate me!"

"Kamu akan melatih para tentara baru sebagai pengganti."

"It's boring, Dad."

"It's final."

"And when will you go?"

Jordan melihat jam tangannya sekilas sebelum menjawab, "Today."

"Great, I'm deactivate now." Sena menabrakkan punggungnya pada sandaran kursi dengan kasar. Benar-benar tidak terima dengan keputusan sepihak ayahnya itu.

"And one more, aku mau kalian bergantian mengantar Kayela ke sekolah ketika liburan telah berakhir."

"Hell no, I'm having my own classes."

"I don't babysitting, Dad!"

"Get her a driver. I'm too busy for that."

"Yup, I agree with Gara."

"Right. That's what all this money we have for."

Setelah kalimat terakhir yang diucapkan Jordan, Milan dan si kembar langsung mengutarakan penolakan mereka dengan keras.

"I don't want to hear any complain. Drive her to school or grounded for a month."

"Aku... aku bisa berangkat ke sekolah sendiri." Akhirnya Kayela membuka suara. "B-but if that is too much, I can ask Baskara to drive me."

"No. It's your brothers job, let them do it," putus Jordan tanpa ingin diprotes lagi. "It's my time to go. Remember what I've said." Kemudian pria itu pergi meninggalkan ruang makan dengan langkah cepat.

"Ka-kalian gak perlu anterin aku sekolah kalau gak mau." Kayela kembali bersuara dengan kepala yang tertunduk dalam.

"Nice to hear that," sahut Sena.

"No." Tiba-tiba Jendra menyela. "Dad had said that that's our job, so we will do it." Ia berucap dengan tegas.

"Jen, yang bener aja?" Sena menatap kakak sulungnya itu dengan kesal.

"Gue udah dewasa and being grounded for a month just like a child is not my choice, I'll let you if you want. Seems like Dad would glad to hear that."

"Fuck!" umpat lelaki itu sembari mengusak kepalanya hingga tatanan rambutnya menjadi berantakan. "Dahlah, gue pergi."

"Ke mana?" Tatapan Jendra mengikuti langkah adiknya itu.

"Ya ngelatih bocah-bocah baru, lah!" Sena menjawab dengan tidak santai. Mood paginya benar-benar telah dirusak oleh sang ayah.

"Oi, tungguin! Gue bareng sama lo." Gara pun beranjak dari kursinya dengan tergesa dan menyusul kembarannya.

"Gue juga berangkat." Milan bangkit dari kursinya lalu menggantung salah satu tali tasnya ke pundak kanan.

Kini, hanya tersisa Jendra dan Kayela di sana. Gadis itu dalam hati berharap Jendra segera pergi tanpa perlu menghiraukan dirinya.

"A-aku...."

"You can call if something urgent happen, or when you need something for your stomachache. I'll give you my number, do you bring your phone?"

Kayela menjawabnya dengan sebuah gelengan.

"Okay. You can type your number here," kata lelaki itu sambil menyodorkan ponselnya.

"A-aku gak hafal nomornya."

"Fine, I'll ask Baskara later. Now I have to go."

"... hati-hati di jalan."

"Hm, thanks."

[]

The Light, Its Dark, and HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang