0409 🤍 Permohonan Haikal

33.3K 4.4K 2.3K
                                    

Marka berbicara dengan tegas, "Entah Aji atau siapapun itu, gak boleh nyentuh Kelvin sebelum Haikal bangun, ngerti?" Ia merasa begitu marah pada Aji sehingga merampas kunci motornya, membuat Aji langsung pundung.

Reihan ikut bicara, "Guys, yang dibilang Bang Marka itu bener, gue juga marah, gue pengen banget ngulitin tuh orang, tapi sekarang Haikal lebih butuh kita." Sambil berbicara, Reihan tak pernah melepaskan genggaman tangannya pada Haikal yang terbaring tak sadarkan diri.

Marka kembali menegaskan, "Aji, ngerti, kan?" Aji hanya bisa duduk terdiam, tangan mengepal, dan wajah tertunduk.

Di sampingnya, Cakra mencoba membujuk Aji dengan lembut, meskipun terlihat bahwa amarah masih membara di mata anak itu. Cakra dengan lembut menyentuh Aji, mencoba meredakan ketegangan.

Cakra berbicara dengan penuh empati, "Ji, gue tau lo marah, sama kaya lo, kita di sini semua marah, tapi coba lo pikir lagi, kalo misal Bang Haikal bangun dan nyariin lo ternyata lo nggak ada, lebih parahnya dia tau lo pergi buat berantem, lo pikir dia bakal gimana reaksinya?"

Aji tetap hening, merenungkan kata-kata Cakra.

Cakra melanjutkan, "Lo juga denger sendiri tadi siang pas dia baru aja pulang, dia nggak mau bahas dulu masalah itu, dia pasti juga punya rencana, jadi apa salahnya lo tahan dulu sebentar rencana lo buat ngeratain Kelvin sama tanah?"

Aji merespons dengan perasaan benci yang mendalam, "Cak, gue bener-bener benci sama dia sekarang, pertama dia ngeroyok Jendral dan sekarang dia bikin Bang Haikal sampai separah ini, kalo aja-- kalo aja Bang Haikal gak kuat buat bertahan, gue gak yakin kita masih ketemu sama dia hari ini."

Cakra mencoba menghibur, "Iya, kita ngerti, Ji, kita paham kok apa yang lo rasain," sambil menepuk bahu Aji.

Sementara itu, ponsel Marka berdering, dan dia terkejut. "Nenek? Tumben banget." Marka segera menjawab panggilan Neneknya, "Halo, Assalamu'alaikum, Nek."

"Gak biasanya nenek nelpon bang Marka," celetuk Jendral.

Cakra menimpali, "Kangen kali, bang Marka kan 4 hari terakhir tidur di asrama terus."

Jendral mengangguk setuju. "Bisa jadi."

Saat mereka tengah berbincang, Reihan tiba-tiba diam saat merasa jari Haikal bergerak. Ia langsung bangkit dan memeriksa.

"Kal?"

Yang lainnya dengan cepat mengelilingi brankar Haikal. Saat sepasang obsidian itu terbuka, semua member Klandestin kompak menghela napas lega dan tersenyum pada Haikal.

Haikal bertanya dengan suara yang sedikit serak, "Gue di mana?"

Arga menjawab dengan lembut, "Lo di rumah sakit, Kal, luka lo kebuka lagi makanya lo kesakitan banget tadi, sekarang jangan banyak gerak dulu, lo butuh apa? Biar kita bantu."

Tangan Haikal meraih tangan Arga. "Gimana demam lo? Udah mendingan?"

Arga mencoba menghindari pertanyaan tentang dirinya, "Kal, lo kok sempet-sempetnya nanyain kondisi gue sih? Liat kondisi lo coba."

Haikal menuntut jawaban, "Jawab dulu."

Arga menghela napasnya lalu mengangguk, "Udah, udah agak mendingan kok," katanya. Dengan sengaja, ia mengantar tangan Haikal untuk menyentuh keningnya. "Udah gak sepanas tadi, kan?"

Haikal tersenyum tipis, merasa lega mendengarnya. "Iya, gak bohong berarti."

Jendral tidak bisa menahan diri untuk tidak menyindir, "Lo yang suka bohong, udah jelas sakit parah, sok-sokan bertingkah sehat walafiat."

Haikal berusaha membela diri, "Gue cuma nggak mau bikin kalian makin khawatir."

Jendral menambahkan lagi, "Lain kali harus jujur, ngerti, kan? Bayi beruang?"

SAPTA HARSA {TERBIT} ✓Where stories live. Discover now