3 - The Empress, The High King, and The Servant

2 0 0
                                    


Ada beberapa saran yang dimiliki Hana untuk mereka yang menjadi seorang servant, tapi dari sekian banyak, satu yang pasti adalah bahwa mereka harus selalu waspada. Seseorang tidak akan pernah tahu apa yang orang lain pikirkan; tebakan bisa salah, terlebih jika mereka harus mewaspadai tidak hanya satu siswa saja, tapi seisi sekolah. Pun mereka tidak akan tahu dari siapa atau kapan penindasan terjadi, dan apa yang akan orang lain lakukan. Itu bisa jadi hanya toyoran di kepala, atau ketika tanpa sengaja pensilmu jatuh, seseorang dengan sengaja menendangnya lebih jauh sehingga kau perlu berjalan beberapa langkah untuk mengambilnya. Yang sedikit lebih menyebalkan, seseorang mungkin menjulurkan kakinya dengan sengaja agar kau tersandung dan jatuh sehingga seisi kelas bisa mengolokmu. Yah, hal-hal tadi sudah pernah terjadi pada Hana dan dia bisa bersiap jika itu terjadi lagi untuk kesekian kali. Yang Hana inginkan untuk tidak terjadi adalah teman-temannya tidak mengganggu dalam persiapannya menghadapi ujian semester.

"Kau sedang belajar untuk ujian semester?"

Speak of the devil.

Tangan yang sedang menulis berhenti seketika, kelas yang ramai berubah hening dalam sepersekian detik yang begitu singkat setelah mendengar ucapan dari satu orang yang kini sedang duduk di bangku seberang meja si servant, duduk menyamping dengan tubuh yang menghadap ke arah Hana, menumpu kepalanya dengan sebelah tangan yang diletakkan di meja Hana. Melihat sosok dengan mahkota megah di kepala yang dia kenal baik, Hana merasakan tubuhnya membeku dengan keringat dingin yang mulai keluar dari pori-pori kulitnya dan tanpa sadar tangannya gemetar.

Tidak ada jawaban dari orang yang dia ajak bicara, Rey lanjut memperhatikan buku catatan Hana yang di halaman itu hampir penuh dengan tulisan tangan si pemilik. "Ngomong-ngomong, kau salah di bagian ini," Rey menunjuk satu bagian yang dia maksud, "itu bukan 'saw,' tapi 'sow.' Jadi, itu adalah 'as you sow, so you shall reap,' dan maknanya adalah what you get is determined from what you do; whether it is good or bad."

Orang itu menyeringai, begitu tipis sehingga Hana yakin bahwa dia adalah satu-satunya orang yang melihatnya. Matanya menatap lurus tepat ke arahnya, begitu tajam seakan dengan itu dia bisa mengulitinya, melihat apa yang tersembunyi dalam dirinya. Itu membuatnya diselimuti ketakutan hingga refleks dia mendorong mejanya menjauh, yang mana justru membuatnya terdorong ke belakang bersamaan dengan kursinya, jatuh dengan bunyi berisik yang memecah keheningan. Hana tahu bahwa saat ini wajahnya sangat pucat dengan ekspresi yang begitu jelas menunjukkan betapa dia merasakan kengerian terhadap orang yang baru saja mengajaknya bicara.

Masih di tempatnya, Rey memandangnya dengan ekspresi datar. Wajah ramah yang menyembunyikan seringai tadi hilang entah ke mana. Mau Rey menunjukkan ekspresi apapun, itu sama saja bagi Hana; keduanya sama buruk untuknya. Sang Kaisar menghela nafas, masih belum mengalihkan pandangannya dari orang yang menjadi sasaran. "Kau seperti baru saja melihat iblis," komentarnya.

Kau iblisnya, dan kau memang iblis. Hana tidak memiliki cukup nyawa untuk mengatakannya, dia hanya berbicara dalam pikirannya.

Masih teringat jelas tiap hal yang Rey lakukan untuk mengusiknya, yang mana terkadang bukan dia sendiri yang turun tangan, melainkan mengendalikan semuanya dari balik layar. Pernah, orang itu menyuruh orang untuk menggunting seragamnya di bagian-bagian tertentu seakan sedang bereksperimen untuk mengubah model seragam, membelikannya makan siang dengan menu yang terisi semua bahan yang tidak disukainya, menambahkan banyak saus pedas ke dalam bekal makan siangnya dan dia harus menghabiskan semuanya saat itu juga karena Rey dan para pengikutnya mengawasinya. Hana suka pedas, tapi tidak sampai di level yang sama seperti Rey yang seolah sudah mematikan saraf pendeteksi pedasnya. Akhir dari itu adalah dia terpaksa izin selama dua hari karena sakit perut, dan ketika kembali ke sekolah, dia diolok habis-habisan. Bahkan laci dan lokernya sedikit penuh dengan berbagai obat sakit perut, berkelanjutan dengan selama beberapa hari dia tidak bisa makan siang dengan tenang. Rey, melalui orang lain yang Hana tidak kenal, bahkan sempat membelikannya makan siang dari kantin khusus permintaannya, tapi sungguh semuanya terasa hambar karena Rey meminta koki untuk tidak menambahkan bumbu sama sekali. Semuanya direbus atau dikukus. Sembari menghabiskan makan siang itu, seisi kantin mengoloknya.

The FallenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora