BAB 39: Kamu adalah Pilihan Terbaikku

248 15 0
                                    

Malam sebelum pernikahan

Dian sedang duduk di tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Mata menatap serius layar yang menampilkan lima kotak yang berisi wajah Raline, Keysa, Ina, Gita dan dirinya. Malam ini Rempongers merayakan pesta bujangan satu-satunya wanita lajang di geng mereka. Kelima perempuan absurd tersebut sedang melakukan video conference di aplikasi Zoom.

"Gimana hari-hari lo setelah jadi pengangguran, Di?" Keysa menjadi penanya pertama.

"Not bad. Gue bisa punya me time. Nggak perlu kejar deadline lagi. Nggak terpapar sinar matahari lagi." Dian memajukan wajah ke arah kamera, lalu menaikkan tangan. "Tuh lihat! Kulit asli gue jadi keluar 'kan?"

Ina mengangguk setelah mengamati paras sahabatnya. "Wajah lo juga sekarang lebih cerah, Di."

"Kau betul, Na. Bahagia kali rupanya sekarang si Dian," imbuh Gita sembari memangku anaknya yang paling bungsu.

"Nanti gue telepon si Clara ah, biar ngomong ke lakinya buat pindahin lo ke mana kek," komentar Raline tak tega melihat sahabatnya menjadi pengangguran untuk pertama kali.

Dian tersenyum senang mendengar perkataan Raline yang peduli dengan kondisinya. "Makasih udah mau usaha, Ra. Sebaiknya gue nggak balik lagi jadi wartawan kantor deh."

Keempat perempuan absurd itu memberi tatapan seragam sebagai respons dari perkataan Dian. Mereka tahu betapa cinta gadis itu terhadap dunia jurnalistik. Impiannya sejak dulu adalah menjadi pemimpin redaktur di sebuah media besar.

"Kok gitu?" Ina bertanya mewakili yang lain.

Gadis itu mengangkat bahu singkat sebelum menjawab pertanyaan Ina. "Tahu sendirilah kerjaan wartawan kayak gimana. Dead line, lembur akhir pekan, lembur sampai malam, telat pulang dan kudu siap sedia kalau ada berita yang harus dikejar."

"Gue nggak mau pertaruhkan pernikahan, karena pekerjaan." Dian menundukkan kepala ketika ingat masa lalu. Waktu itu ia harus kehilangan orang yang dicintai, karena tidak ingin melepas pekerjaan. "Dulu gue lebih pilih kerjaan daripada diajak nikah, 'kan?"

Bekerja sebagai wartawan memang tidak mudah. Tidak sedikit media yang melarang karyawannya untuk menikah ketika awal bekerja. Alhasil, Dian harus memilih salah satu. Dikarenakan masih muda dan karir yang akan dilalui masih panjang, ia memutuskan hubungan dengan cinta pertamanya.

"Bener juga ya. Trus rencana lo ke depan gimana?" tanya Raline.

"Gue mau jadi blogger aja deh. Bikin berita sendiri, trus publish sendiri. Zaman sekarang 'kan bisa bikin konten juga di youtube." Dian tersenyum lebar. "Kayaknya seru tuh bisa kolaborasi sama Mas Fajar."

Raut usil langsung tampak di wajah Keysa dan Raline.

"Cie Mas Fajar. Sweet banget deh," ledek Keysa diamini oleh yang lain.

"Udah telepon-teleponan dong sekarang," duga Ina ikutan nimbrung.

Dian menggeleng cepat. "Chat juga nggak ada."

"Masa sih? Jangan bercanda kau, Di." Kali ini Gita yang berbicara.

"Serius! Dia emang gitu. Kayak nggak mau komunikasi. Kalau ngobrol juga seperlunya aja sih sebelum gue resign," jelas Dian mengatakan yang sebenarnya.

"Trus komentar Fajar apa waktu tahu lo resign?" Raline jadi kepo.

Bola mata Dian terangkat ke atas ketika bergumam. "Keberatan sih pasti. Dia bilang sayang kalau gue harus lepasin karir, karena lagi bagus-bagusnya."

"Nah tuh 'kan. Setuju gue," sahut Raline memantik jari.

"Trus lo jawab apa, Di?" Ina kembali mengajukan pertanyaan.

"Gue bilang, lebih sayang lagi duit 150 juta buat bayar penalti," balas Dian cekikikan.

"Sialan lo! Duit mulu yang dipikirin." Keysa geleng-geleng kepala.

"Eh, Dian betul, Key. Kau bayangkan saja uang 150 juta bisa dipakai buat DP rumah." Yang ini sudah tahu siapa yang berbicara 'kan? Jadi tidak perlu dijelaskan. Haha!

"Mas Fajar udah punya apartemen, Git. Sayang duit kalau beli rumah lagi." Dian menanggapi.

"Emang mau sampai kapan tinggal di apartemen, Bu?" tanggap Ina anteng.

Ketika ingin membalas perkataan Ina, ponselnya berdering. Sebuah panggilan video masuk, nyaris membuat Dian terperanjat panik.

"Eh, Guys. Sorry, ini Mas Fajar tumben telepon. Video call lagi," serunya mencari keberadaan kerudung instan.

"Nanti sambung lagi ya. Daaaah!" Dian langsung mematikan sambungan Zoom sebelum mendapatkan respons dari keempat sahabatnya. Alamat diomeli gadis itu nanti di grup Whatsapp, karena sudah left begitu saja.

Dian buru-buru memasangkan kerudung instan berwarna peach, sebelum menggeser gambar video di bagian tengah layar. Dalam hitungan detik wajah tampan Fajar sudah memenuhi layar.

"Assalamu'alaikum," sapa Fajar begitu melihat Dian.

"Wa'alaikum salam," saut Dian dengan jantung berdebar. Untuk pertama kali mereka berkomunikasi melalui video call, setelah dua bulan lebih saling mengenal.

"Tumben video call," ujar gadis itu lagi.

"Pengin lihat kamu aja sebentar. Udah lima hari nggak ketemu," balas Fajar tersenyum lebar sehingga gingsunnya terlihat.

Selama kenal baru dua kali Dian melihat pria itu tersenyum lebar, sehingga memperlihatkan gigi yang tidak tumbuh di tempat yang tepat. Anehnya justru itu yang membuat Fajar tampak menarik ketika tersenyum.

"Masya Allah. Cakep banget," celetuk Dian tanpa sadar.

"Videonya aku matikan ya?" cetus Fajar khawatir jika percakapan berubah ke arah intim.

"Eh, jangan. Astaghfirullah. Aku minta maaf deh," ucap Dian merasa bersalah.

Fajar diam ketika memandang paras Dian yang memerah. Dia suka melihatnya seperti ini.

"Kamu belum tidur?" tanya Fajar mengalihkan pembicaraan.

Dian menggeleng singkat. "Tadi lagi video di Zoom bareng anak-anak."

"Sahabat-sahabat kamu? Apa namanya?"

"Rempongers."

Bibir Fajar membulat ketika tahu nama geng calon istrinya itu. "Udah lama sahabatan sama mereka?"

"Lebih dari satu dekade, Mas. Mereka nggak hanya sahabat, tapi udah kayak keluarga." Dian tersenyum mengenang kebersamaannya dengan Rempongers.

Fajar manggut-manggut paham. "Sekarang tidur ya. Jangan begadang, biar besok nggak ngantuk."

"Kita 'kan cuma akad nikah aja."

"Iya, tapi habis itu tetap nyambung sama pestanya Citra."

"Bener juga," cicit Dian nyengir kuda.

"Sampai ketemu besok, Dian." Fajar melambaikan tangan ke arah kamera.

"Sampai jumpa besok juga calon imam," balas Dian tersenyum kucing sebelum layar ponsel menghitam.

Dian menarik napas panjang dengan senyum merekah. Setelah melepaskan lagi kerudung, ia mengempaskan tubuh di kasur. Tangannya terangkat ke atas melihat cincin lamaran, yang sebentar lagi akan digantikan dengan cincin pernikahan. Fajar mengatakan telah membeli cincin emas putih untuk Dian dan perak untuknya, karena agama melarang laki-laki mengenakan benda yang mengandung emas.

"Sebentar banget sih. Seminggu lo di jari gue, insya Allah besok udah ganti lagi," gumam Dian senyam-senyum, "ah, nanti gue masih pake kok. Tenang aja."

Mata Dian terpejam membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui mereka nanti. Gadis itu berharap akan membina keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

"Kamu adalah pilihan terbaikku, Mas. Kerjaan masih bisa dicari lagi, tapi aku nggak bisa cari penggantimu."

Kalimat itulah yang diucapkan oleh Dian ketika Fajarmenanyakan, apakah ia tidak menyesal karena telah melepas pekerjaan. Bagi gadisitu, Fajar adalah pilihan terbaik dalam hidupnya. So sweet :*


Bersambung....

Mengejar Cinta Ustaz Tampan [TAMAT]Where stories live. Discover now