BAB 6: Pertemuan Mendebarkan

203 18 0
                                    

"Bapak lagi nggak bercanda, 'kan?" Dian masih belum percaya kalau Fajar yang ditaksirnya adalah Fajar yang menyerempet mobil kantor dua hari yang lalu.

Bibir berisi pria itu tertarik ke samping, sehingga gigi berukuran besar tampak jelas. Tunggu, sepertinya ada gingsul di sebelah kiri. Sudah jelas menambah keelokan paras Fajar.

Bagaimana dengan ekspresi Dian ketika melihat makhluk ciptaan Allah yang nyaris sempurna di matanya? Melongo pemirsa. Tampak binar cinta di matanya seiring dengan dada yang bergemuruh.

Sadar, Di. Jaga image. Apa-apaan sih lo? Cowok kayak gini belum tentu masih single, kali aja udah punya bini, batinnya menyadarkan diri.

Ah, kalau modelannya begini, gue rela jadi yang kedua kok, bisik hati satu lagi.

"Mbak mungkin lupa karena saya waktu itu pakai helm, tapi saya masih ingat dengan wajah Mbak." Perkataan Fajar mampu menyeret Dian ke alam nyata.

Dia ingat wajah gue? Jangan-jangan cinta pada pandangan pertama kayak gue. Lagi-lagi kalimat itu hanya mampu diucapkan dalam hati.

"Eh, iya Mas, eh Pak. Saya nggak lihat wajahnya." Dian mengarahkan telapak tangan ke wajah, kemudian menggerakkannya ke atas dan bawah. "Pakai helm full face kalau nggak salah."

"Tapi maksud kedatangan saya bukan bahas masalah dua hari lalu, Mas, eh Pak," sambung Dian lagi.

"Panggil Fajar saja, Mbak," ujar pria itu kemudian.

"Nggak enak panggil nama, Pak." Dian garuk-garuk kepala tidak gatal. "Jadi begini, Pak. Saya datang untuk keperluan pekerjaan."

Gadis itu menyerahkan kartu nama sekalian modus memberitahukan nomor ponsel yang tertera di sana. "Saya dapat tugas untuk mewawancarai Bapak. Apakah Bapak ada waktu?"

Dian berusaha untuk mengontrol diri agar tidak terlihat konyol di depan Fajar. Bagaimanapun, ia harus menjaga wibawa sebagai wartawati senior yang sudah lama berkecimpung di bidang jurnalistik.

Fajar mengulurkan tangan ke arah pintu ruang masuk lobi gedung. "Sebaiknya kita berbincang di ruangan saya aja, Mbak," anjurnya tanpa melihat ke arah Dian.

Pria itu menunggu Dian berjalan terlebih dahulu memasuki lobi. Setelah memutar balik tubuh, senyum kembali terukir di paras Dian. Gadis itu kagum dengan cara Fajar menghargai perempuan. Istilahnya penganut sistem lady's first.

Tiba di dalam gedung pascasarjana, Dian memperlambat langkah sehingga berjalan beriringan dengan Fajar. Dia tidak tahu di mana letak ruangan pria itu. Langkah mereka berhenti ketika tiba di depan pintu berwarna hitam. Terlihat mencolok di antara dinding putih yang memagari. Dalam hitungan detik, pintu itu terbuka.

"Silakan masuk, Mbak." Fajar kembali mengulurkan tangan dengan santun.

Lagi-lagi Dian dibuat terkesima dengan perlakukan gentle Fajar. Pria itu tampak begitu bersahaja. Pakaian yang dikenakan juga sederhana. Meski demikian sangat pas di tubuh tinggi dan bidangnya.

Poinnya jadi bertambah di mata gue. Beda dari cowok-cowok yang pernah gue temui, batin Dian terkagum-kagum.

"Duduk dulu, Mbak," kata Fajar mempersilakan Dian duduk di sofa yang dekat dengan pintu.

Sebelum beranjak menuju meja kerja, pria itu merapatkan pintu ke dinding terlebih dahulu, agar tidak tertutup lagi. Hanya ada dirinya dan Dian di ruangan berukuran 3x3 meter tersebut. Setelahnya Fajar bergerak menuju meja meletakkan tas ransel di bawah meja.

"Bagaimana kondisi mobil Mbak? Sekali lagi saya minta maaf harus buru-buru waktu itu, karena ada urusan penting." Fajar melangkah lagi ke sofa dan memilih duduk di sofa single, cukup jauh dari tempat Dian duduk.

Mengejar Cinta Ustaz Tampan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang