30. Pulang atau Pergi

Mulai dari awal
                                    

"Katanya di dekat gudang pesantren, Umma. Emangnya ada, ya?"

Umma terdiam untuk sesaat. Raut wajah nya keliatan bingung. Hana pun bingung melihat reaksi mertua nya. "Umma, gudang pesantren... Ada, kan?"

"Ada." Jawab Umma sebentar. Lalu menatap Hana kembali. "Azzam disana? Lewat perantara siapa?"

"Ada satu santriwati yang datang. Baru aja. Mungkin udah pergi ke masjid. Kata nya, Azzam manggil Hana ke dekat gudang pesantren." Mendengar nya, Umma melihat sekitar. Menggenggam tangan menantu nya.

"Umma ikut, ya."

****

"Kamu yakin, tidak mau ke ndalem?"

"Gila lo."

"Katanya mau menemui pujaan hati?"

"Cih."

Azzam meletakkan sebuah lilin dan membakar nya dengan korek api. Api nya menyala namun. Sensasi membakar dan cahaya yang datang di tengah tengah gudang lama pesantren yang berdebu. Tak ada lampu sama sekali disana.

Mereka berdua, Azzam dan Sadam. Dengan beralaskan tikar bersih untuk mereka duduki. Dengan cahaya karena api lilin, Sadam bisa melihat raut wajah Azzam yang nampak serius.

Sepertinya, Azzam sedikit sensitif membicarakan soal Hana untuk Sadam.

"Gila juga ni orang kalau udah jatuh cinta."

"Terlebih kamu. Mencintai milik saya dengan nafsu."

Sadam mengepalkan tangan nya. "Lo jangan sok-sok'an mengklaim dia, ya!"

"Sengaja. Supaya kamu sadar diri."

"Wah," Sadam menggelar tawa seakan tak percaya. Ternyata Azzam bisa sepedas ini memberikan jawaban. Tak pernah mereka berdebat dingin seperti ini. Perlahan, rintik hujan mulai turun. Hawa nya menjadi dingin. Sadam mengusap telapak tangan nya. Melihat Azzam masih mengenakan surban nya.

"Ngga gerah pakai surban terus? Dari dulu selalu nempel sama kain itu."

"Pemberian Umma. Jelas saya pakai."

Sadam terdiam. Ia mendengus. Azzam mengangkat pandangan nya setelah terus memandang api lilin. Sedangkan Sadam mengalihkan perhatian dan melihat sekitar. Gudang ini hanya penuh dengan alat alat asing karena sekitar nya gelap.

"Jadi, lo cinta sama Hana nih cerita nya?"

"Menurut kamu?"

"Jawab yang jelas lah, zam."

"Dia istri saya. Tentu saya cinta." Jawab Azzam dengan jelas. Sadam yang menatap wajah sang kakak mengangguk.

"Lo cuma... Manggil Hana, kan?"

"Iya. Kebetulan ada santriwati yang lewat. Mau tidak mau, dia yang saya jadikan perantara. Kamu sih, tidak mau ke ndalem langsung?"

"Emang sengaja lo mau masukin gua ke ndalem, zam. Lo kira gua bodoh?"

"Kalau memang suatu saat nanti saya berhasil memasukkan kamu ke ndalem dengan kesadaran kesengajaan saya, kamu mau mengatai diri kamu bodoh nantinya?" Pertanyaan Azzam barusan membuat Sadam sedikit jengkel. Lelaki itu berani menjawab iya. Mungkin karena Sadam memantapkan diri untuk tidak memasuki ndalem setelah kejadian malu yang ia lakukan sewaktu lari dari pondok pesantren.

GUS AZZAM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang