Satya's Family (2)

5 1 0
                                    

Di sebuah rumah sakit, terbaring lemah wanita tua dengan infus yang menetes tiap detiknya. Dia, ditemani satu anak laki-lakinya yang terus memegang tangannya sejak tadi.

Dirga, menatap mata Ibunya dengan penuh iba. Alat medis di sekelilingnya terus berbunyi, menandakan tanda vital Ibu nya masih ada.

Dengan berat hati, dia pun beranjak pergi. Di luar ruangan, terlihat seorang laki-laki tua sedang duduk di kursi panjang rumah sakit seperti menunggu seseorang.

"Ayah? Maaf membuatmu menunggu." Dirga ikut duduk di samping Ayahnya.

"Ibumu? Bagaimana kondisinya?" Suara Ayah Dirga serak seperti mantan militer, badannya juga tegap dan tidak bungkuk meski sudah tua.

Setelah menghela napas panjang, Dirga menggeleng. "Belum sadar."

"Ya sudah kita tunggu saja. Seharusnya tidak apa, dokter pasti tahu apa yang terbaik,"

"I-iya Ayah. Aku juga berharap begitu ...," Dia bersandar lesu.

***

Luna mengobrak-abrik salah satu toko buku tua yang berada di kotanya. Dia, mencari koran edisi tahun 2001 lainnya.

Debu mengenai hidungnya yang sedikit sensitif membuatnya bersin sesekali. Setelah beberapa saat akhrinya dia bisa menemukan potongan koran edisi tahun 2001.

"Ketemu juga,"

Anehnya semua koran edisi 2001 benar-benar sulit ditemukan. Luna telah mencari di beberapa toko buku, namun baru kali ini dia mendapatkannya itu pun bukan versi full melainkan potongannya saja.

Setelah melipatnya, Luna keluar untuk membayar. Kakek tua di sana menyuruh dia untuk mengambilnya saja, karena memang sudah rusak dan tak bernilai.

Dia pun membawa pulang koran tua itu dengan penuh penasaran. Kemeja biru mudanya terlihat berdebu karena tindakannya tadi.

Matanya melirik debu yang menempel di bahunya, dan ia pun buru-buru menyeka. Kakinya kembali melangkah melewati jalanan yang dipenuhi orang-orang berlalu lalang.

Tepat pukul 5 sore sebuah taxi melintasi dirinya bersamaan siluet seorang pemuda. Luna tertegun sesaat mengamati taxi itu melaju kencang sementara dirinya menggenggam erat koran di tangannya.

Sayup-sayup dia mengamati sekeliling saat kepulan asap rokok menjulang tinggi ke langit. Dengan penuh penasaran, dia pun melangkah mendekati sumber asap di ujung jalan.

"Iyan?" sapa nya.

Kedua dahinya mengernyit mendengar suara seorang wanita di belakangnya. Rian pun menoleh.

"Luna?" ujarnya, "Sore-sore begini jalan sendirian?"

Tangan kanan gadis itu diangkat sedikit, memamerkan apa yang baru ia dapat. "Biasalah. Tahu sendiri. Aku akhir-akhir ini terlalu iseng." dalihnya.

Rian mematikan rokoknya. Paparan sinar matahari yang menyoroti mereka memperlihatkan kantong mata tebal milik Rian. Laki-laki itu segera membuang puntung rokoknya di tong sampah bawah pohon.

Entah sejak kapan Luna memperhatikan detail temannya dari ujung kepala hingga kaki.

"Kamu kayaknya jadi kurus," celetuknya, "Ah, maaf,"

"Benar kok. Aku juga ngga tersinggung." Tangannya menepuk pundak Luna.

Kemeja bermotif kotak yang dikenakan Rian mengendur; celana nya pun tidak rapih seperti biasanya. Membuat Luna kembali bertanya apa yang sebenarnya terjadi?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

THE END?Where stories live. Discover now