Satya's Family (1)

18 2 1
                                    

Bola mata Luna bergilir membaca halaman perhalaman dari buku yang dipegangnya. Saat ini dia duduk di sebuah meja kecil, bersebelahan dengan jendela. Dari sana juga terdengar suara permainan piano dari ruang samping.

Gadis ini menutup bukunya, entah sudah berapa lama dia membaca. "Apa karena terlalu lama terdistraksi dunia luar? Rasanya aku jadi malas."

Luna memasukkan buku tadi ke totebag yang ia bawa. Ia berdiri dan terdiam beberapa saat, seperti ada sesuatu yang dilewatkannya. "Tunggu."

Samar-samar dia melihat potongan halaman koran yang sudah usang, di meja yang berisi tumpukan majalah. Posisi meja berada tepat di depannya, dan berjarak sekitar 5 meter dari tempatnya berdiri sekarang. Tanpa ragu gadis ini langsung mengeceknya.

"Mejanya sudah usang. Majalah dan koran lama? Kenapa aku baru sadar. Ada yang seperti ini di Perpustakaan." Luna melihat-lihat sebentar, dan mengambil potongan koran tadi.

"Ini ... koran edisi 2001? Wah. Sudah 18 tahun, pantas saja." Mata Luna terbelalak kaget saat tidak sengaja melihat foto anak kecil terpampang jelas di halaman.

MISTERI HILANGNYA PUTRA TUNGGAL KELUARGA SATYA. Judul berita dari koran yang berada di tangan Luna. Meski hanya tersisa satu lembar, koran itu menjadi bukti kejadian hebat di masa lalu. Apalagi foto anak kecil di bawahnya semakin memperkuat jelas bahwa di versi lengkapnya pasti memuat informasi penting.

"Satya? Bukannya itu nama keluarga Dirga? Foto anak ini ... mirip dengan foto Iyan saat kecil. Wajahnya, ekspresinya," Luna langsung teringat foto keluarga Rian saat itu.

"Tunggu, ini bukan kebetulan. Satya? Putra mereka itu Dirga, tapi kenapa anak kecil ini mirip dengan Iyan? Apa maksudnya?"

Di waktu yang bersamaan nada dering handphone Luna terdengar. 

"Ah, iya Pak! Iya. Saya, segera ke sana." Luna bergegas pergi saat menerima panggilan dari Digo, ia turut membawa koran tadi ke dalam tasnya.

**********

"Oh iya Pak, kenapa memanggil saya?" tanya Luna yang duduk di kursi.

"Saya ada urusan bisnis. Mungkin sekitar 3 minggu. Jika schedule kamu tidak terlalu padat, mau menemani saya?"

"Kebetulan sekali, saya free untuk beberapa minggu ke depan. Jadi bisa menemani Bapak. Tapi ngomomg-ngomong, kenapa harus saya?"

"Kinerjamu bagus, saya butuh orang sepertimu di sisi saya. Hanya untuk berjaga-jaga jika ada kondisi diluar kendali." Digo berdiri dari kursinya.

"Eh?" Luna terkejut saat sebuah gold card  sudah berada di tangannya.

"Bawa itu saat kita pergi nanti," tutur Digo.

"Tapi Pak, kenpa harus dipegang saya?"

"Di sana akan ada banyak wanita dari kalangan sosial tingkat atas, pastikan kamu menyesuaikan diri." Digo hendak berjalan pergi.

"Itu hal mudah. Pak, Bapak pernah dengar kasus keluarga Satya di tahun 2001?" tanya Luna menghentikan langkah kaki Digo.

"Kasus? Keluarga Satya itu misterius. Saya cukup terkejut kamu tahu sesuatu, kamu ada hubungan apa dengan mereka?" tanya balik Digo.

"Ah, tidak ada. Hanya penasaran saja," Luna menyimpan niat hatinya karena tidak ingin merepotkan Digo.

"Usahakan jangan terlibat masalah dengan siapapun. Kamu akan menemui banyak perbedaan saat bertemu keluarga kelas atas. Mereka tidak segan menyakiti, jadi tolong berhati-hati," jelas Digo.

Luna mengangguk. "Saya tahu. Terima kasih sudah mengingatkan Pak."

Digo tersenyum kecil dan berjalan pergi. "Sama-sama."

Luna menghelas napas panjang setelah kepergian Digo. "Ini tidak masuk akal. Sepertinya dia juga menutupi sesuatu."

**********

"Aku lelah sekali hari ini." Gadis itu membuka pintu kamarnya dan langsung menjatuhkan diri ke kasur.

Dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. "Dirga, apa yang kamu sembunyikan? Bukannya kamu putra tunggal mereka?"

Luna beranjak dari kasur, dan membuka laptop miliknya. Mencoba mencari ulang informasi seputar kasus Hilangnya Putra Tunggal Keluarga Satya. Sudah 10 menit ia berkutat di depan layar laptop, mencari informasi di internet. Namun anehnya, tidak ada hasil yang bisa ia temukan. Benar-benar tidak ada satupun artikel yang berani membahas hal ini.

"Ini sungguh aneh. Sampai masuk koran, tapi tidak ada satupun artikel yang membahas?" Luna mengacak-acak rambutnya frustasi.

Ditengah kebingungan itu, nada dering masuk ke handphone nya. Luna mengangkat telepon itu. "Halo Fik. Tumben telepon, ada apa?"

"Gak ada apa-apa, gua cuma mau nanya kabar lu,"

"Aku baik. Kamu? Suka ngilang kemana aja selama ini?"

"Gua sehat sih. Sering sibuk kerja,"

"Oh kerja ... pantes jarang kelihatan,"

"Ya gitulah. Gua juga habis lost, ilang duit gua 500 rebu kemarin. Kena tipu,"

"Kok bisa? Hati-hati makannya. Kemarin Iyan habis dapet temen kos, namanya Dirga. Temenku juga,"

"Serius lu? Kek kutub gitu ada yang mau temenan sama dia?"

"Ada, malah akrab mereka. Btw, kamu 'kan pernah di lingkungan Teknologi, itu pernah denger Satya Company gak?"

"Sa-Satya Company? Pernah. Emang kenapa? Dulu gua pernah kerja di sana langsung dipecat, asli. Padahal cuma karena gak sengaja lihat foto anak kecil di ruangan,"

Pupil mata Luna membesar mendengar jawaban tadi. "Serius? Pernah? Ada yang aneh lagi gak? Misalnya, ruangan apa yang kamu masukkin?"

"Apa ya ... kalau gak salah dulu, gua salah ruangan. Gak tahu itu ruangan apa, yang jelas kayaknya dijaga banget. Gua jadi curiga sama mereka,"

"Sama! Foto anak kecilnya mirip Iyan!  Kemarin aku ke kosannya bareng Dirga. Terus gak sengaja lihat foto keluarga mereka, itu mirip banget sama Iyan pas masih kecil,"

"Bisa gitu? Terus lu mau apa?"

"Kasusnya di tutup tanpa adanya kejelasan, bahkan di internet juga gak ada artikel atau web yang bahas mereka,"

"Tunggu, jangan bilang ... lu lihat di koran Perpus?!"

"Kebetulan! Kamu juga lihat? tapi ... cuma satu halaman inipun robek setengah,"

"Gua juga baca woy!" seru Fikri.

"Besok ayo ketemuan, kita bahas inii!"

"Kalau demi temen gua sih gak masalah, okelah."

Setelah beberapa obrolan panjang Luna menutup telepon. "Benar dugaanku, jika Dirga putra mereka kenapa ada berita dan foto anak kecil itu?"

Ia memejamkan matanya sebentar. Mencoba mengistirahatkan pikirannya yang sudah semakin rumit layaknya benang. Setelah merasa tenang, ia kembali melihat ulang koran yang dibawanya.

"Tanda lahir itu?!" Alangkah terkejutnya Luna saat baru menyadari lengan anak kecil di fotonya terdapat tanda lahir.

"Iyan, juga ... punya," suara Luna semakin lirih seakan hampir tidak percaya. Dia pernah melihatnya dulu saat Rian menggulung lengan kemejanya.

"Kepulangan Dirga yang tiba-tiba, apa hubungannya? Dia menyembunyikan sesuatu. Aku juga tidak pernah mendengar mereka berdua menceritakan masa kecilnya,"

Gadis ini semakin termenung lebih dalam, feeling nya mengatakan jika dia harus ikut campur dengan keadaan ini.

THE END?Where stories live. Discover now