Caffe Tragedy

58 22 8
                                    

     Mereka berdua terlihat mengobrol santai di sebuah caffe Jepang dengan konsep perpaduan modern dan tradisional. Ruangannya terbuat dari kaca dan di sana ada taman yang sengaja dibuat mengelilingi ruangan. Konsep penyajian makanan mereka unik karena menggunakan bambu yang dialiri air.

"Terus akhirnya bagaimana?"

"Waktu pertama kali terjun dunia kepenulisan, saya pikir mudah buat jadi penulis. Waktu kecil malah ngiranya penulis kerjaan yang mudah karena cuma duduk-duduk buat karya terus dapat penghasilan. Sekarang, tahu sendiri banyak tantangan yang pastinya nggak mudah buat dilewatin. Tapi ini jadi tantangan tersendiri buat saya,"

"Memang, mungkin banyak yang masih salah perspektif soal penulis atau pekerjaan lain yang kelihatannya simpel. Tapi setiap pekerjaan pasti ada tantangannya sendiri, dan tidak ada yang mudah,"

Luna mengangguk. "Itu benar. Tapi yang namanya pekerjaan, ya pasti dijalani sesulit apapun itu. Saya jadi penasaran, kenapa Bapak mengajak saya keluar secara pribadi seperti ini?

"Kenapa? Kamu sangat penasaran?" Digo terkekeh.

"Iya! Saya sangat penasaran. Bapak cuma bosan apa gimana," ucap Luna.

"Nah, seperti katamu." Digo kembali terkekeh.

Bosan? Tidak, Lun. Saya lihat kamu mirip dengan saya. Rasanya jadi penasaran tentangmu.

"Murid Bapak selain Fei dan Rian ada?" Luna menyeruput secangkir matcha di depannya.

"Ada, Kei. Anaknya baik, tapi saya pikir itu cuma cover dia. Selebihnya saya kurang tahu, tapi yang jelas dia sering terlibat hubungan asmara yang rumit," jawab Digo.

"Wah. Bapak paham banyak karakter murid Bapak, ya? Sampai detail kecil seperti itu juga tahu. Kalau menurut Bapak, saya tipe yang mana?" Gadis itu tersenyum tipis.

"Kamu, tipe ... ambisius, sigma female dan mungkin juga dominant dalam sebuah hubungan. Apa saya salah?"

Luna tersenyum. "Tidak, Bapak tidak salah. Semuanya benar, tapi untuk yang hubungan saya belum pernah berhubungan dengan siapapun, saya rasa ... mungkin akan dominant. Tapi tergantung pasangan saya juga."

Tidak selalu sigma, dalam beberapa situasi ... mungkin aku juga Alpha.

Kelopak mata Digo terangkat mendengar ucapan Luna. "Jadi, selama ini kamu belum pernah pacaran?" Digo benar-benar terkejut, sebelum akhirnya kembali tenang.

Gadis itu terkekeh. "Iya Pak ... belum pernah. Kaget sekali, ya?"

"Iya jelas dong, kamu cantik begitu rasanya cukup aneh kalau belum punya pasangan." Digo mengambil mie putih yang lewat di bambu dengan sumpit, kemudian memakannya.

Luna menghela napas dan mengambil mochi dari piring kecil di depannya. "Alasan yang biasa saya dengar." Dia menggigit mochi itu dan melahapnya langsung.

"Tapi masuk akal, bukan? Biasanya anak seperti kamu terkenal. Atau paling tidak jadi incaran banyak laki-laki." Digo memperhatikan gadis di sampingnya itu menghabiskan 3 mochi strobery dengan cepat. Mulut Luna seperti ikan buntal, menggembung. Nada bicaranya santai, memberi waktu pada Luna untuk menelan terlebih dulu sebelum menjawab.

"Benar. Tapi saya terlalu menutup diri, jadi hanya sedikit yang bisa berteman dengan saya. Jujur saya, cukup selektif saat berteman, Pak." Gadis itu menunduk sebentar. "Maaf. Saya tadi tidak sopan saat makan." Luna tersenyum, matanya sedikit menyipit.

"Tenang saja, terserah kamu mau makan seperti apa. Lagipula bukan di acara formal, jadi tidak masalah." Digo menyeruput teh hitam miliknya.

Pasti kebiasaan dari kecil ya Lun? Menunggu apa sebenarnya sampai harus makan secepat itu?

THE END?Where stories live. Discover now