Kantin

89 44 98
                                    

     Mereka berdua kebingungan mencari tempat duduk lantaran semua tempat sudah penuh dengan banyaknya orang. Meja-meja di sana semuanya telah diisi oleh kelompoknya masing-masing. Luna melihat sekeliling sekali lagi, dan menyadari masih ada satu meja di sudut ruang yang hanya diduduki satu orang. Tanpa berpikir panjang ia langsung berjalan menuju tempat itu.

"Duh, Luna ... ya ampun." Keluh Rensa yang berjalan mengikutinya dari belakang.

"Mau duduk nggak? Kalau mau ya begini." Mereka berdua berhenti saat sudah berada di depan meja.

Mata Rensa melotot kaget. "Na, dia Rian. Yakin masih mau duduk di sini?" Rensa kembali menatap wajah Luna.

"Ada masalah kalau itu Rian?" Luna menarik kursi di depannya, dan duduk begitu saja.

"Masalahnya dia terkenal Es Kutub, Na." Rensa masih saja berdiri mematung di depan meja.

Laki-laki yang dipanggil Rian itu memutar bola matanya malas. "Berisik kalian. Terutama kamu." Rian menatap dingin Rensa. "Kalau gak mau duduk, gak usah duduk. Pergi aja." Suaranya terdengar dalam, dengan nada yang dingin.

"Uh." Rensa akhirnya duduk di sebelah Luna.

"Maaf, kita nggak ada niatan ganggu kamu." Gadis ini membuka daftar menu yang sudah ada di meja.

"Jadinya kita makan apa? Aku bingung nih," ucap Rensa.

"Makan angin," sahut Rian tiba-tiba membuat mereka berdua terkejut.

     Rian Raditya, 21 tahun. Dari jurusan Teknik Informatika, mempunyai kemampuan akademik yang unggul, di semester yang lalu berhasil mendapat IPK 3,98. Kedua tertinggi di Fakultas Teknik. Tingginya 180 cm, dengan warna mata cokelat tua, rambut hitam berponi (bowl cut) dan wajahnya yang tergolong Asia.

     Laki-laki yang dikenal dengan julukan Es Kutub ini populer, meski sifatnya membuat sebagian orang kurang nyaman. Dan anehnya banyak gadis yang mengidolakannya, terkadang juga disebut-sebut sebagai Idola Kampus. Gambarnya bagus, selain itu dia juga bisa bernyanyi. Pintar, berbakat, populer, itu yang dikatakan orang-orang terhadap Rian.

Luna tersenyum sedikit mendengar candaan Rian. "Gak kenyang dong."

"Kalian ini bener-bener ya ...." Handphone Rensa berdering keras karena panggilan masuk.

"Jawab dulu itu," tutur Luna.

"Iya, aku permisi dulu, ya?" Rensa berlari keluar.

Gadis itu hanya bisa menghela napas panjang saat melihat Rensa keluar. "Huh, waktu itu berlalu cepat sekali, ya?"

Rian mengernyit mendengar semua itu, seolah tak peduli. "Hmm?"

Kenapa juga aku mengharap jawaban yang lebih baik dari orang sepertimu.

     Sudah hampir 5 menit, tapi Rensa belum juga kembali. Luna yang duduk semeja dengan Rian merasa sangat bosan, dan hanya bisa menunggu. Apalagi selama itu tidak ada obrolan sama sekali diantara mereka, yang ada hanya ketegangan dan perasaan canggung.

Mata Luna melirik memperhatikan apa yang sedang Rian lakukan di depan layar laptopnya. "Oh, masih ngoding."

"Apa?" tanya Rian yang tiba-tiba menatap wajah Luna.

"Gak, bukan apa-apa." Luna menggelengkan kepalanya.

     Laki-laki itu tak merespon lagi, dan kembali fokus dengan laptopnya sendiri. Sikap mereka berdua ternyata diperhatikan banyak orang termasuk fansnya Rian, Luna merasa tak nyaman dengan banyaknya mata yang terus-terusan melihat mereka. Baginya ini menyebalkan, menjadi pusat perhatian.

THE END?Where stories live. Discover now