Lengannya turun ke arah bahuku dan menyentuhnya sensual. Dengan pelan, kurasakan tangan kekarnya yang tengah membuka resleting bajuku dari belakang.

Darahku mendesir dan rasanya badanku gemetaran merasakan hangat tangannya mengelus punggungku yang kini terbuka.

"Hmm, sebentar, Al," tahanku, tidak kuat dengan rasa gelinya, kulit ku terasa sensitif. Namun, dengan nakalnya Alex malah semakin memancingku.

Sedangkan sebelah lengannya mengambil tanganku dan mengarahkannya ke tonjolan di bawah sana. Bahkan aku tidak sadar saking lemasnya tubuhku, Alex dengan mudah bisa menggerakkannya.

Mataku sontak melebar merasakan sesuatu yang mengembung itu, terasa dejavu. Keningku mengerut dan mencoba mengelusnya lagi, ini aneh tapi aku seperti pernah merasakannya.

Tidak salah lagi, persis seperti mimpiku saat sedang memegang timun.

"Elus saja semaumu, Nat, dia akan tetap menyukainya," ucap Alex yang tidak dapat ku mengerti.

Yang ku tahu dia menggerakkan tanganku semakin liar di bawah sana. Aku tidak berani melihatnya dan hanya menatap tepat pada mata Alex. Ini terlalu mendebarkan.

Tanpa bimbingannya lagi, perlahan tanganku bergerak sesuai insting dan mengelusnya seperti yang ku lakukan dalam mimpi.

Walaupun masih mengenakan celana, dapat kurasakan dagingnya yang keras. Aku menatap Alex was-was, takut menyakitinya.

Seperti mengerti pikiranku, dia tersenyum menenangkan dan kadang kala mendesah dengan tatapannya yang menyipit itu.

"Muridku sudah sedikit andal, lakukan terus saja seperti itu, sayang," pujinya menyemangati, membuatku menggerakkannya lebih cepat.

Reaksinya yang keenakan seperti itu memikatku untuk berbuat lebih, entah mengapa aku ingin melihatnya terus mendesah dan memanggil namaku.

"Aum aku menyukainya, teruslah memancingnya, Al. Gadis kita sangat pintar," timpal Rolf ikut memujiku. Bukannya terganggu, aku malah merasa bertambah nafsu dan ingin menunjukkan hal lain yang bisa memuaskannya.

Spontan senyumku terbit dan menggerakkan pinggulku hingga ikut mengenainya. Terlihat Alex yang semakin melayang dan mendongakkan kepalanya.

Masih fokus dengan kegiatanku, tiba-tiba saja pintu di belakangku terbuka dan menampilkan seseorang yang sudah kami tunggu sedari tadi. Leo.

Dari cermin dapat ku lihat matanya yang menatapku membelalak dengan mulut menganga lebar. Terlihat keterkejutan dan kekecewaan di matanya, ekspresi yang sudah ku nantikan sedari dulu.

Namun, itu semua tidak bertahan lama, Leo langsung mengendalikan wajahnya dan menatapku sinis.

Langkahnya mendekat dan menarikku agar menjauh dari Alex. Tubuhku di dorong dengan kencang hingga bertabrakan dengan dadanya.

"Sudah ku duga kau memang jalang, Nat. Berpura-pura menolakku dan ternyata bermain dengan pria lain," ucapnya dengan setengah berteriak.

Tangannya mencengkram lenganku erat sampai dapat kurasakan aliran darahku berhenti di sana.

Dengan memberontak, aku melepaskan tangannya. Bahkan hanya sentuhan kulit saja aku tidak sudi. Sudah se-ilfeel itu aku padanya.

Mataku menatapnya meremehkan dan tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa.

"Aku menolakmu bukan karena tidak mau, Le. Punyamu terlalu kecil dan sudah ternodai banyak wanita, aku tidak menyukainya. Lagipula apa kau yakin bisa memuaskanku?" tanyaku dengan sebelah alis yang terangkat.

Leo tampak marah dengan mengepalkan tangannya kuat. Giginya menggeram dan bergemelatuk, tidak menyukai perkataanku.

Pikirannya sudah kotor dengan banyak hewan yang ia sebutkan, akan tetapi tidak menggoyahkanku sama sekali. Malah aku merasa senang melihatnya semarah itu, kalau bisa lebih terbakar lagi.

Pet Me, I'm Your Wolf!Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt