BAB 41

23 2 0
                                    

“Nyokap apa kabar, Der?” tanya Kafka saat Dera baru saja duduk di kursi kerjanya. Raut wajah laki-laki itu terlihat sangat khawatir. Mendengar Mama Dera sakit sampai di rawat di rumah sakit seketika membuatnya turut panik.

Dera tersenyum setelah mengambil ponsel kantor dari dalam tas jinjing yang kini ia letakkan di atas meja. “Udah baik, kok.”

Kafka bernapas lega mendengarnya. Membayangkan seorang Ibu sakit saja sudah membuat dirinya terbayang bagaimana kalau Mamanya yang sakit. Kafka adalah sosok anak laki-laki yang sangat menyayangi Mamanya. Sehingga mudah berempati dengan apa pun yang berhubungan dengan keadaan seorang ibu. “Syukurlah.”

“Thanks, udah turut khawatir. Oh iya, tumben Mbak Mel sama Mbak Siska duluan aku?” Dera melihat kursi di sebelahnya yang masih kosong, kemudian beralih pada kursi kerja Siska.

Kafka mengedikkan bahu, memang biasanya mereka datang lebih dulu dari Dera bahkan dirinya. “Mbak Siska mungkin ada urusan kayak biasanya. Kalau Mbak Mel, aku juga kurang tahu.”

Kafka berbalik dan berjalan menuju kursi kerjanya. “ Kamu juga jaga kesehatan ya, Der cuaca lagi nggak jelas. Pagi cerah merona gini, sore bisa hujan deres banget.”

“Sip. Kamu juga.” Mengacungkan du jempol sekaligus ke arah Kafka.

Hari ini ia diantar oleh Deryl menggunakan motor yang waktu itu lagi. Jadi bebas macet. Dera terkikik saat mengetahui motor itu hasil pinjaman bawahannya Deryl. Sempat mengira kalau laki-laki itu diam-diam mempunyai hobi motor gede. Ternyata Dera salah sangka.

Sesaat setelah Dera menyalakan layar komputer, Mbak Mel datang tergopoh. Dahinya berpeluh. Bahkan make upnya sedikit luntur. Setelah say hai, gegas ia pamit ke kamar mandi. Dera memeriksa pesan masuk pada ponsel kantor. Kemudian beralih ke layar PC yang sudah menyala. Mengetik password, kemudian meng-klik ikon gmail pada layar dekstop.

Memeriksa email yang masuk, membukanya dan membalas satu demi satu email tersebut. Suasana hatinya kini sangat bagus. Hingga tanpa ia sadari, kedua sudu bibirnya terus tertarik ke atas sejak tadi. Seperti orang yang sedang kasmaran. Kafka yang sejak tadi memperhatikan, menangkap hal itu. Dalam hati ia berharap sesuatu yang baik selalu menghampiri perempuan itu.

***

Deryl menjemputnya. Menunggu di lobi seperti sudah sangat akrab dengan sofa tamu itu. Satu set sofa yang memang disediakan untuk tamu itu berwarna abu-abu. Modelnya mewah dan elegan. Lengkap dengan meja kaca yang memiliki penyangga senada dengan sofa.

Dera tersenyum melihat pemandangan di depan sana. Sofa abu-abu itu kini tampak jauh lebih mewah dengan Deryl yang duduk menyilangkan kaki bak model di atasnya. Laki-laki dengan setelan jas hitam yang menampakkan kemeja putih di dalamnya serta dasi yang berwarna hitam juga, terlihat sangat tampan di matanya.

Emang dulu Deryl seganteng ini ya?

Melangkah mendekati laki-laki yang tengah sibuk dengan ponselnya itu. Dera mengeluarkan ponsel lalu menyalakan kamera. Berniat mengambil foto Deryl secara diam-diam. Namun ia lupa mematikan bunyi saat menangkap gambar. Sontak Deryl sadar dan melihat ke arahnya yang kini hanya berjarak tidak lebih dari empat meter dari posisi duduk Deryl. Laki-laki itu tersenyum, sedangkan Dera kikuk. Malu ketahuan hendak mencuri foto.

Deryl berdiri, lantas menghampiri Dera. “Wah pacarku selain cantik, juga seorang paparazi ya. Bilang dulu dong kalau mau ambil foto. Biar aku pose keren.”

Dera malu kemudian memalingkan pandangan. Menyembunyikan wajahnya yang kini tersipu. “Hih, udah ah pulang aja.” Pura-pura merajuk. Dera berjalan keluar gedung mendahului Deryl. Laki-laki itu tersenyum dan menggeleng. Kemudian menyusul pacarnya itu.

Di dalam mobil, Dera masih memajukan bibirnya. Seolah marah pada Deryl. Sedangkan Deryl hanya menggeleng di belakang kemudi. “Maaf, By. Kamu bebas kok mau ambil fotoku kapan aja. Sekarang juga boleh. Terus jangan lupa bikin story sama caption love ya.”

“Aaaa malu tahu. Jangan bahas lagi ah.” Dera menangkup pipi denga du telapak tangan. Membuat Deryl gemas sekali. Ingin terus menggoda perempuannya.

Mobil melaju pelan bersama padatnya lalu lintas. Berbelok ke sebuah kafe yang banyak berubah dari enam tahun lalu. Tempat biasa mereka mampir setelah pulang kerja dulu. Kini tempat itu tampak lebih kekinian. Ruang parkirnya di belakang kafe. Terdapat outdoor dengan meja dan kursi yang instagramable di lengkapi lampu dengan cahaya kuning. Menggantung bergelombang di atas meja-meja itu. Terdapat juga vas kecil bening yang diisi dengan satu tangkai mawar segar. Beberapa meja dengan mawar merah, beberapa lagi kuning dan putih.

Tapi Dera dan Deryl memilih untuk duduk di bagian dalam kafe. Mereka sama-sama tidak suka bau asap rokok. Meski terlihat lebih romantis, duduk di luar sama dengan berbagi udara dengan para penikmat benda berasap itu. Beberapa lagi menggunakan rokok elektrik, yang meski tidak berbau sama dengan asap rokok bakar biasa, tetap saja asap yang mengepul lebih banyak itu menganggu pandangan menurut Dera.

Kafe terlihat ramai. Duduk dekat jendela besar favorit Dera itu membuatnya merasa tempatnya lebih luas dari tempat duduk lain. “Ah jauh beda ya dari yang dulu.”

“Dalam hal apa? Lebih baik atau bagaimana menurutmu, By?” tanya Deryl setelah memesan minuman juga kue pada pelayan.

“Tentu saja semakin baik, bagus banget malah. Terakhir aku ke sini yang malam itu, sama kamu. Udah lama banget.” Ingatan Dera memutar kembali pada kebersamaannya bersama Deryl di tempat ini. Kemudian tersenyum geli sendiri.

Deryl menautkan kedua alis heran. “Kamu kenapa? Kok tiba-tiba ketawa? Nggak ketempelan kan?”

Dera mendelik. “Enak aja. Aku cuma lagi inget dulu kita sering ke sini. Dulu penampilan kamu bener-bener beda sama yang sekarang tahu, By. Makanya aku ketawa. Karena emang beda banget.” Tersenyum hingga menampakkan lesung pipi. Deryl selalu terpesona dengan hal itu sejak dulu. Mungkin daya pikat Dera memang saat tersenyum.

“Boleh nggak kalau senyum tuh jangan cantik gitu.”

“Maksudnya?” Dera tidak mengerti maksud Deryl.

Deryl mendengkus lalu mengerucutkan bibir. “Aku jadi takut ada yang naksir kamu kalau lihat kamu senyum gitu. Jangan senyum gitu boleh? Apalagi di depan IT kantormu itu.”

Saat menangkap maksud laki-laki di hadapannya, Dera tergelak. “Ah kamu cemburu?”

Ah tentu saja. Apalagi jelas Deryl tahu bahwa Kafka menyimpan rasa pada Dera. Bagaimana ia bisa tenang saat Dera seharian dalam satu ruangan dengan laki-laki putih itu. Memikirkannya saja sudah sesak.

“Tenang aja. Apa nggak cukup dengan aku tetep jomlo enam tahun ini? Karena siapa coba?” Dera meletakkan tangannya di atas tangan Deryl. Laki-laki itu tersenyum. Menyadari bahwa Dera sama dengannya. Menyimpan satu nama saja sampai selama itu.

Ah rasanya kayak jatuh cinta lagi, pada orang yang sama.

***

Hai semuanya, selamat hari Sabtu. Semoga hari kalian menyenangkan. Mampir ke KaryaKarsa yuk buat baca Falling for You Again dengan cepat.

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang