BAB 26

27 5 21
                                    

“Jadi siapa Deryl ini?”

Merasa terpojok, Dera diam sejenak, memandang lurus ke depan. Membiarkan Galih dengan pertanyaannya. Lagi pula ia tidak punya kewajiban menjawab setiap pertanyaan dari laki-laki itu. Meski sekarang lebih dekat, tetap saja Galih adalah orang lain baginya. Tidak perlu memusingkan hal yang tidak perlu.

“Kok, belok?” tanya Dera saat mobil masuk ke pelataran parkir sebuah restoran pizza terkenal.

“Mau di mobil aja? Lama loh,” ujar Galih saat melepas sabuk pengaman.

“Mau beli pizza?”

“Beli batagor.” Galih membuka pintu. Mendengar Dera mendecak kesal, ia mengurungkan kakinya yang hendak turun. “Ya beli pizza lah. Kesel deh, untung sayang. Ayo turun!”

Tidak protes, Dera melepas sabuk pengaman kemudian turun dari mobil. Mengekor di belakang Galih. Mengikutinya hingga masuk ke dalam restoran. Begitu masuk, aroma panggangan roti Itali itu menguar, merebak di seluruh ruangan. Bau gurih dan asin membuat Dera terus menghidu tanpa menutupi perasaannya.

Galih memilih tempat duduk dekat jendela kaca lebar yang transparan. Terletak dua kursi berhadapan dengan meja kecil sebagai pemisah. Dera duduk di hadapannya. Meletakkan tas jinjing di pangkuan.

“Taruh di meja aja. Biar enak duduknya.” Ucap Galih sembari memilih menu. Kemudian memanggil seorang pelayanan yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.

“Yang ini sama yang ini, large, take away semua, ya.” Jari telunjuk Galih memilih dengan cepat.

“Sambil menunggu, mau salad buah atau sayur? Bisa ambil langsung di salad bar ya, Kak.”

“Ok.”

Pelayan itu dengan sopan meminta mereka untuk menunggu. Lalu pergi dengan catatan di tangan. Jari telunjuk Dera mengetuk meja berkali-kali dengan gerakan lambat. Tangan satunya lagi ia gunakan untuk menopang dagu. Tidak peduli dengan tatapan intens dari laki-laki di seberangnya.

Dera menghentikan ketukan jari saat merasakan puncak kepalanya dielus oleh Galih. Matanya melotot ke arah laki-laki itu. Tidak juga menghentikan hal itu, Galih malah tersenyum. Jaraknya yang kini tinggal dua jengkal dari wajah Dera, membuatnya leluasa mengacak rambut perempuan itu.

Dengan santai, Dera memegang tangan Galih dengan tangan kanan yang sejak tadi di atas meja. Tidak mengubah posisinya sama sekali, tangan kiri tetap menopang dagu. Tangan kanannya memutar sedikit pergelangan tangan Galih, ibu jarinya menekan bagian sensitif pada punggung tangan itu, lalu dengan cepat menurunkan tangan Galih dari kepalanya. Sontak Galih menjerit.

“Aduduh..., udah udah sorry, Der. Sakit!” Tidak peduli dengan rintihan Galih. Wajah Dera melihatnya datar. “Maaf, Maaf Der. Lepasin ya....”

Dera melepasnya. Sontak Galih memegangi tangannya. Dera tidak suka disentuh. Sudah berapa kali Galih dengan lancang melakukannya. Selain berkewajiban siaga, Dera hidup tanpa ada Papa lagi sejak beberapa tahun terakhir. Menjaga diri adalah tugas utamanya, tentu saja demi kebaikan Dera.

“Jangan kayak gitu lagi. Aku nggak suka.” Dera mengalihkan pandangan. Pengunjung lain memperhatikannya, tapi tidak ambil pusing. Sedangkan Galih masih saja mengaduh.

“Ok, janji. Aduduh, tangan berhargaku!” keluhnya melebih-lebihkan.

***

Sampai di rumah. Galih menyerahkan satu kotak pizza yang dibeli tadi kepada Mama. Tidak singgah lama, ia pamit kepada wanita itu. Masih dengan gayanya. “Tante Mama, aku pulang ya. Dera galak. Atut.”

Mama menautkan alis, “Habis diapain emang?” Wanita itu sepertinya paham apa yang tengah terjadi. Lalu dengan senyum mengantar Galih sampai serambi depan. Masuk lagi ternyata Dera sedang mandi. Anaknya memang sedikit tega kalau memang tidak suka. Jenis perempuan yang tidak lembek. Saat marah, maka dengan mudah ia menunjukkannya. Begitu juga saat sedih, bahagia, atau perasaan lainnya.

Mama menunggu Dera sembari menonton televisi. Sekitak pizza ia letakkan di atas sofa di belakangnya. Tangan Mama meraih remot kontrol lalu menekan tombol pada benda itu beberapa kali sampai menemukan channel yang ia cari. Duduk di karpet bulu dengan bersanda pada sofa adalah posisi ternyaman baginya saat menonton televisi.

Tidak lama, Dera keluar dari kamar mandi. Semerbak harum sabun yang ia gunakan ikut terbawa keluar. Kakinya yang masih sedikit basah melangkah hati-hati. Melewati Mama dengan sedikit membungkuk dan permisi. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Mengganti baju, lalu menyisir rambut seadanya.

Keluar dari kamar, melihat Mama membuka kotak pizza pemberian Galih. Ia bergabung di samping Mama. Mengambil sepotong pizza dengan topping keju lumer itu. Menggigit lalu mengunyahnya tanpa suara. Mama menggeleng sambil tersenyum.

“Habis kamu apain si Galih, Der?” tanya Mama to the point. Tangan kanannya mengambil sepotong pizza, lalu menggigitnya.

“Kena piting dikit, Ma. Suruh siapa main elus kepala Dera gitu aja. Dera kan nggak suka.” Mulutnya masih aktif mengunyah. Matanya fokus pada televisi yang tengah menayangkan reality show kesukaan Mama.

“Kamu masih tegaan.” Mama tekekeh kecil. “Tapi Mama lihat waktu Gibran ke sini juga ngelus rambut kamu. Tapi, kok nggak kena hajar juga?” tanya Mama memancing. Melihat gelagat Dera saat bersama pacarnya, Mama menyimpulkan bahwa mereka tidak seperti pasangan baru.

Dera teringat hari itu. Pipinya menghangat. Ah memang itu membingungkan. Saat bersama Deryl, perasaannya nyaman-nyaman saja. Jadi tidak ada pikiran menolak perlakuan manis itu darinya. Dera juga heran akan hal itu.

“Uhmmm Gibran kan pacar aku, Ma.” Dera nyengir sambil melahap gigitan terakhir pizza di tangannya. Mengunyah dengan sedikit kepayahan karena mulut penuh.

“Tetep aja, kan belum lama kenal. Kamu sama Galih dulu akur banget loh, Der. Setidaknya anggaplah abang. Galih juga baik. Itu kenapa Mama nggak mau ngomong nolak Terang-terangan ke Tante Maura. Biar hubungan kita tetap terjaga meski kamu nggak mau dijodohin sama anaknya.”

Entahlah, Dera masih tidak mengingat momen itu sama sekali, meski ada perasaan tidak asing saat bersama Galih. Wajar kan? Saat itu aku masih belum genap lima tahun. Dera tahu keputusan Mama benar. Andai langsung menolak, kemungkinan hubungan keluarga juga menjadi renggang.

Mama menceritakan kebersamaan Dera bersama Galih saat Dera masih berumur lima tahun. Kenangan yang mungkin tidak diingat olehnya. Karena setelah itu Tante Maura pindah ke luar kota, dan hanya beberapa kali berkunjung, itu pun tanpa Galih.

“Yaudah, jadi kapan Gibran main lagi. Mama kangen masak buat dia.” Mama mencoba mengalihkan pembicaraan, melihat Dera yang mulai tidak nyaman dengan topik Galih.

“Nanti pasti ke sini. Mama nggak perlu kangen dia. Aku aja...” Dera menghentikan kalimatnya terhenti.

Aku kangen Deryl, ya?

Kunyahan mulutnya melambat, menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini menguasai hati. Mengapa dirinya serisau itu saat Deryl tidak ada kabar? Bahkan uring-uringan tidak jelas. Apa Dera masih belum menyadari perasaannya, yang ternyata masih sama seperti dulu? Meski beberapa kali menyangkal, rasa takut Deryl menghilang lagi sudah menjelaskan semuanya.

***

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Where stories live. Discover now