BAB 21

27 7 21
                                    

“Gibran kok nggak mampir ya, Der? Padahal biasanya selalu balikin tupperware mama tiap jam pulang kerja.” Mama memangku toples kaca berisi kacang mede kesukaannya. Sesekali mengulurkan tangan, menyuapi Dera yang sedikit tidak fokus pada layar televisi.

“Baru mau nanya aku, Ma. Mama masih suka anter makan siang ke kantornya?” Mulutnya mengunyah kembali saat selesai bicara.

“Iya, dong. Hari ini Mama masak menu baru. Mama bosen seminggu masak sama terus menerus.” Mama meletakkan toples di atas karpet bulu abu-abu. Memperbaiki posisi duduknya yang tidak nyaman. Membiarkan kakinya berselonjor agar tidak kesemutan. Punggungnya bersandar pada sofa abu tua di belakangnya.

Melihat Mama mengubah posisi, Dera menegakkan punggung. Bersiap memijit betis wanita itu. Tapi urung, Mama memintanya duduk bersandar kembali. Mengambil toples mede dan menyuapi Dera lagi.

“Kayaknya hari ini Gibran sibuk banget. Tadi aku anter sertifikat ke kantornya, tapi dia nggak ada. Kata rekannya lagi keluar ngurus sesuatu.” Dera berdiri, beranjak ke meja makan. Menuangkan air putih dari teko kaca bening ke dalam gelas tinggi. Kembali duduk dan menyerahkan gelas itu pada Mama.

“Terima kasih anak Mama.” Lalu Mama mulai meminum air itu hingga menyisakan setengah isinya. Meletakkan gelas itu di samping kiri. Dera meraih benda itu dan meminumnya. Minum dari satu gelas bukan hal tabu di antara Mama dan Dera.

Layar televisi menayangkan film box office dengan judul Limitless yang tertulis pada pojok kanan paling atas layar. Dera pernah menonton film itu, tapi lupa alurnya. Ada bagian yang paling diingat olehnya, yaitu ketika pemeran utama menelan pil transparan dan berubah menjadi jenius keren. Menulis naskah novel dalam semalam, kemudian menjadi terkenal karena novelnya. Tapi, laki-laki itu tidak puas sehingga meminum pil itu lagi. Hal yang bisa Dera ambil dari film itu adalah tentang sifat alami manusia yang tidak pernah puas. Hingga membawa manusia itu sendiri dalam kehancuran.

“Mama minta nomornya Gibran boleh?” tanya Mama, sontak Dera kelimpungan. Mencari alasan sama dengan bunuh diri, mengingat betapa isi kepalanya terpampang dengan jelas.

“B-boleh. Nanti aku kirim ke Mama. Dera pewe banget mau ke kamar ambil hp.” Lalu menyandarkan kepala pada pundak Mama. Tangannya memeluk tangan kanan Mama posesif.

Tidak ada pembicaraan lebih lanjut, keduanya kembali fokus pada layar datar di depan. Sesekali Mama mengambil mede dari toples untuknya, juga menyuapi Dera. Hingga kantuk menyerang mata. Belum habis film diputar, mereka memutuskan untuk menekan tombol berwarna merah pada remot, dan pindah ke kamar masing-masing.

Dera melompat ke atas kasur empuknya setelah menekan sakelar di sebelah kusen pintu, mematikan lampu. Hari ini cukup melelahkan. Tidak hanya fisik, batinnya terus mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, yang tentu membuatnya semakin lelah. Setengah bangun kemudian Tangan kanannya meraba nakas dalam gelap, mencari tombol guna menyalakan lampu tidur.

Setelah lampu tidur menyala, cahaya temaram kekuningan menyebar di sekitar ruangan. Meski tidak mencapai pojok kamar, cukup membuat Dera mampu menemukan ponselnya yang ternyata berada di atas bantal.

“Belum di baca?” gumam Dera saat memeriksa history chatnya dengan Deryl, centang duanya masih abu-abu. Dengan perasaan kesal, ia mematikan layar ponsel, melempar benda pipih itu sembarangan, namun tetap memastikan gawainya tidak jatuh ke lantai. Tidak ada anggaran pengeluaran untuk ganti ponsel dalam waktu dekat.

Dera memiringkan badan, memejamkan mata meski hatinya terus merutuki Deryl. Ia bersumpah dalam hati, akan menghajar laki-laki itu dalam mimpi.

***

Dera sarapan dengan wajah ditekuk sempurna. Kesal karena orang yang ingin dihajarnya tidak hadir dalam mimpi. Malah tamu bulanan yang datang pagi-pagi sekali. Mama yang bingung dengan sikap anaknya, memutuskan tidak ingin mengganggu.

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Où les histoires vivent. Découvrez maintenant