BAB 8

43 12 23
                                    

[Selamat pagi, Pak Deryl, silakan kirim lewat email untuk berkas persyaratannya. Terima kasih.]

Dera mengirimkan pesan singkat pada Deryl, setelah Nadin meminta untuk berurusan dengan Deryl saja selama pengurusan sertifikasi ISO. Dengan berat hati, Dera mengiyakan.

Di rumah ia dibuat pusing oleh desakan Mama untuk bertemu Gibran. Sedangkan di kantor, meski keadaan seperti biasa, Dera merasa dikucilkan oleh partner berisiknya, Kafka. Meski laki-laki itu sudah konyol seperti sebelum hari itu, tapi sangat kentara bahwa Dera sedang didiamkan.

Bunyi notifikasi dari ponsel kantor, segera ia membukanya.

[Okay, tapi aku minta nomor pribadi kamu, please!] Ternyata balasan dari Deryl.

Dera menggelengkan kepala, tidak sadar bibirnya melengkung, tersenyum. Membaca pesan dari Deryl membuatnya membayangkan wajah laki-laki itu tengah memohon dengan kedua tangan bertangkup di depan dada.

[Aku nggak pernah ganti nomor.] Berniat menghapus kembali kalimat yang telah ia tulis, lagi pula ia tidak berniat berhubungan dengan laki-laki itu di luar urusan pekerjaan,tapi salah tekan. Ia lupa ikon enter pada ponsel kantor berarti kirim.

"Ya ampuuunnn!" Dera berseru seraya meletakkan gawai itu cukup keras di atas meja. Kedua tangannya memegang kepala. Lalu mengacak rambutnya sendiri.

Mbak Mel ikut berjingkat kaget. "Ada apa? Kenapa Der?" tanya perempuan dengan kerudung lebar itu panik.

Alih-alih menjawab, Dera malah bengong. Tidak lama setelah itu, terdengar notifikasi bertubi-tubi dari ponsel pribadinya yang ada di sebelah keyboard. Tidak langsung memeriksa benda pipih itu, Dera menatapnya nanar.

Gercep banget manusia satu itu. Kalau udah gini, musti gimana?

"Dera? Kamu kenapa? Kesurupan?" Mbak Mel mendekati Dera, kemudian meletakkan punggung tangan kanannya pada kening perempuan itu.

Ekor mata Kafka mengawasi. Ingin menanyakan ada apa tapi gengsi. Setelah dua hari lalu ditolak, ia memutuskan untuk tetap mencintai Dera dalam diam. Andai Siska ada, pasti ia sudah dapat jitakan sejak pagi tadi. Untungnya, perempuan itu sedang turun audit di lapangan. Setidaknya untuk sekarang Kafka aman.

Dera menggelengkan kepala. Mbak Mel menghembuskan napas lega. Kini tangannya memegang dada, lalu menoyor bahu Dera. Si pemilik bahu nyengir tak berdosa.

Dengan ragu Dera mengambil ponselnya. Menekan tombol power pada sisi kanan benda itu dengan jari telunjuk. Seketika layar menyala, menampilkan foto dirinya memeluk Mama. Lalu telunjuknya mengusap layar ke atas, ponsel pun terbuka dan menampilkan banyak ikon beberapa aplikasi.

Dera memilih tidak menerapkan kode atau password pada gawainya. Tidak ada alasan khusus, hanya lebih suka yang seperti itu.

Benar saja, pesan beruntun dari Deryl.

[Dera.]

[Der, ini aku Deryl.]

[Aku pernah telepon ke nomor ini, tapi tidak terdaftar.]

[Dera.]

[Dera Adisti.]

Dera membacanya tanpa berniat membalas. Tanpa ia sadari bulir bening menetes begitu saja dari matanya. Setelah enam tahun menunggu sosok itu menghubungi dirinya di nomor yang tidak pernah ia biarkan mati. Sempat lupa mengisi pulsa hingga nomor terblokir, dengan cepat ia aktifkan kembali ke gerai kartu prabayar itu.

Tapi sekarang laki-laki itu menghubungi. Hatinya menghangat, meski logika terus menolak mengakui. Dengan cepat tangannya menghapus air mata sebelum ada yang melihat. Tanpa Dera sadari, sepasang mata Kafka memperhatikannya sejak tadi.

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Where stories live. Discover now