BAB 2

82 13 18
                                    

Setelah sambungan telepon terputus, Dera mencoba menenangkan hatinya. Meyakinkan diri bahwa bukan satu dua orang memiliki nama yang sama. Tangannya berkeringat, mendengar nama itu disebut saja ia sudah seperti ini.

“Mbak Adis,” panggil seseorang yang sontak membuatnya mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Dera terkejut saat bertatapan dengan orang itu. Calon klien pun tampak sama kagetnya. Apa yang baru saja Dera takutkan, kini benar-benar terjadi. Deryl yang Nadin maksud adalah Derylnya. Tepatnya Deryl yang itu.

Keduanya terpaku beberapa saat, sampai akal sehat Dera kembali. Ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Terlepas dari siapa orang yang kini ada di hadapan, Deryl tetap calon kliennya. Ia menahan sekuat tenaga agar amarahnya tetap terbendung aman selama beberapa menit ke depan.

Dera menahan diri untuk tidak menampar laki-laki itu. Seperti janji pada dirinya dulu, jika bertemu lagi dengan Deryl, maka ia akan menghajarnya.

“Selamat siang, Pak. Saya Adisti, silakan duduk. Saya sudah memesankan minum untuk Anda. Maafkan saya kalau tidak cocok, karena saya pikir Bu Nadin yang akan datang.” Dera tetap tersenyum meski mati-matian menahan panas dalam hatinya.

Deryl duduk, namun tatapannya tidak lepas dari Dera. Tampak sekali ketegangan dalam sorot matanya.

“Ini hard copy proposal dari kami. Silakan Bapak baca terlebih dahulu.” Dera menyerahkan map biru berisi proposal penawaran sertifikasi ISO.

Deryl dan Nadin membangun startup bersama di bidang minuman kemasan. Setelah berjalan lebih dari satu tahun, mereka berencana mendaftarkan produknya ke BPOM. Ternyata salah satu syaratnya adalah memiliki sertifikat ISO.

Tangan Deryl menyambut map dengan gemetar. Hatinya sakit melihat Dera seolah tidak mengenalinya. Ia tahu, perempuan itu pasti membencinya setengah mati. Mata nyalang Dera membuatnya bergidik.

Dera menjelaskan beberapa sertifikasi kepada Deryl. Suaranya terdengar bergetar beberapa kali. Menggeser laptop menghadap Deryl.

“Perusahaan Bapak akan membutuhkan tiga sertifikat ini. Ini masing-masing harga barunya, dan yang sebelahnya adalah harga surveillance, yang harus dibayarkan di tahun ke dua dan ke tiga.”

Deryl menekuri tabel yang ditampilkan pada layar laptop. Berusaha bersikap profesional sebagaimana yang dilakukan Dera.

“Kira-kira berapa lama prosesnya, Mbak?” Akhirnya Deryl bertanya.

Sebelum menjawab, Dera menghela nafas untuk menahan amarahnya lebih kuat lagi. “Lima sampai enam hari kerja. Atau bisa lebih cepat jika tim kami sedikit luang.”

“Untuk persyaratan bagaimana?”

“Persyaratan sudah kami tulis lengkap di halaman ke enam proposal, Pak. Setelah penyerahan persyaratan dan DP, sertifikasi langsung kami proses.”

Kalimat Dera terdengar samar oleh Deryl. Ia kembali tidak fokus dengan pembicaraan. Setelah setahun lebih menahan diri tidak menemui pujaan hati, kini malah bertemu tanpa persiapan sama sekali.

Deryl menatap wajah yang tidak berubah itu, masih persis seperti enam tahun lalu. Mata lebar yang selalu berbinar saat berbicara. Senyum yang menampakkan ceruk kecil pada pipi kanannya itu. Sedikit berubah karena gaya rambut saja. Senyum yang meski pura-pura, tetap menghadirkan hangat dalam dada.

“Bagaimana, Pak? Ada yang mau ditanyakan lagi?” Dera sekuat tenaga menatap laki-laki yang dulu pernah singgah di hati. Andai bukan calon klien, tentu Dera sudah melampiaskan kemarahannya sejak tadi. Tangan kirinya mengepal di bawah meja. Hatinya sesak dengan perasaan aneh.

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Where stories live. Discover now