BAB 23

30 8 16
                                    

“Dera udah nggak apa-apa, Ma. Please, boleh pergi ya?”

Mama menghela napas panjang. Melihat Dera sudah siap dengan tas kerjanya membuat Mama menggelengkan kepala beberapa kali. Dari tadi malam, Mama memintanya mengambil jatah cuti untuk istirahat hari ini. Alih-alih menuruti mama, kini Dera terus berkelit menghindari pukulan tangan Mama agar tidak mengenai  bokongnya.

Dera sudah rapi dengan stelan blazer berwarna coklat tua. Dalaman tanktop putih, membuat warna manis dari blazernya keluar. Bawahan rok pendek sebetis membuatnya tampak elegan. Rambut yang telah di-blow kini terlihat lebih bervolume. Bibir tipisnya telah teroles lipmate berwarna merah peach.

Dera lebih sering tidak mengenakan bedak, menggantinya dengan sejenis sunscreen yang sudah mengandung bedak. Dengan begitu, ia tidak perlu mengoles wajahnya dengan bedak lagi. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.

“Yaudah.” Mama akhirnya menyerah. Mencegah Dera, sama dengan tidak mungkin. Level keras kepala Dera memang setinggi papanya.

Dera bersorak. Berputar dua kali, kemudian mengajak Mama ikut berputar. “Yeay... Makasih Mama sayang!” Seru Dera seraya memeluk wanita itu erat.

Dera pergi setelah melahap dua roti isi dalam piring keramik di atas meja. Tidak lupa mencium takzim tangan Mama. Langkah kecil membawanya ke halte busway yang tidak jauh dari gang komplek tempat ia tinggal. Meski dengan kepala sedikit pusing, ia memutuskan untuk  menuntaskan pekerjaan hari ini sebelum berakhir pekan keesokan harinya.

Kini Dera berpikir bahwa dirinya bukan apa-apa untuk Deryl. Ia menyeringai, menertawakan diri sendiri yang sempat berharap lagi pada laki-laki itu. Betapa pun ia membenci Deryl, dirinyalah yang membawa laki-laki itu masuk kembali dalam hidupnya. Andai saja tidak berbohong pada mama soal memiliki kekasih, andai saja waktu bisa diulang.

Dera tersadar dari lamunannya ketika sebuah busway berhenti dan membuka pintu. Gegas ia masuk ke dalamnya. Melongok, mengedarkan pandangan mencari kursi kosong. Meski sudah jauh lebih baik, Dera merasa tidak kuat bila harus berdiri sampai halte tujuannya.

Beruntung, seorang laki-laki muda mempersilakan Dera duduk menggantikannya. Dengan cepat ia mengambil alih kursi yang kini kosong itu sebelum penumpang lain menyerobot. Mengucapkan terima kasih pada pemuda itu. Dera bernapas lega. Merasa Tuhan sangat sayang padanya.

Tubuhnya belum fit benar, hingga berjalan dari rumah ke halte saja membuatnya berkeringat dingin. Seharusnya ia mendengarkan Mama.

Aduh makin pusing.

Dera mengerjapkan mata beberapa kali demi mengusir rasa sakit di kepala. Memijit sekitar pelipis pelan, berharap pusingnya berangsur menghilang.

***

Gosip tentang Dera tidak bertahan lama. Orang-orang dengan kesibukannya masing-masing cepat melupakan hal itu. Sedangkan penyebar berita masih terus merasa bersalah pada Dera, meski perempuan itu menyatakan telah memaafkannya. Mbak Mel terlampau malu untuk sekedar menyapa rekan marketingnya itu.

Melihat Dera murung beberapa hari terakhir membuat Mbak Mel tidak nyaman. Perempuan yang hari ini mengenakan kerudung hitam itu memberanikan diri menghampiri Dera. Mencoba mengajaknya bicara. Dera dengan cepat mengiyakan.

Kini mereka berada di kafe lobi gedung kantor. Dera memainkan pengaduk minumannya. Memutar tanpa henti benda itu di dalam gelas berisi teh kamomil yang tinggal separuh.  Selain minuman dan kue, kafe ini juga menyediakan beberapa menu makan siang, salah duanya yang saat ini ada di meja Dera dan Mbak Mel. Dera memesan nasi hijau dengan ayam teriyaki sebagai lauknya. Mbak Mel memesan nasi putih dengan jamur krispi serta sambal geprek.

“Der. Aku mau minta maaf.” Mbak Mel membuka pembicaraan. Dera menghentikan kegiatan mengaduk, kini tatapannya lurus ke arah Mbak Mel.

“Aku udah bilang kan, aku maafin, Mbak.”

“Tetep aja. Aku belum minta maaf sama kamu,” sahut Mbak Mel, lantas menunduk. Dera menghembuskan napas panjang. Meletakkan kedua tangan di atas meja. Membuat tubuhnya sedikit condong ke depan. Tanda bahwa ia siap mendengarkan lawan bicaranya yang kini menunduk dalam.

“Maafin aku, Der. Aku bertindak impulsif tanpa berpikir lebih. Kafka udah minta tolong hapus email yang ternyata salah kirim itu. Harusnya langsung aku hapus, sebelum niatan buruk hadir dalam pikiran.” Mbak Mel terdengar sangat menyesal. Dera tersenyum. Lagi pula, ia sudah memaafkan perempuan itu.

“Apa pun itu, aku harap hal ini cukup terjadi sama aku. Suatu saat, di mana pun Mbak Mel berada, semoga tidak terulang hal yang sama. Mbak Mel harus janji ya.”

Mbak Mel mengangkat wajahnya. Menatap Dera dengan mata berkaca-kaca. Kemudian menggenggam kedua tangan Dera di atas meja. Ia ucapkan terima kasih berkali-kali. Hati yang berat telah terangkat perlahan bebannya. Kini Mbak Mel berjanji pada diri sendiri, tidak akan lagi mengulang perbuatan tidak terpuji. Di mana pun dan kepada siapa pun.

Dera tersenyum hangat. Berbaikan dengan Mbak Mel cukup melegakan. Perang dingin dengan orang yang duduk seharian di sebelahnya cukup membuat lelah tak berkesudahan. Kini ia bersyukur, berharap tidak ada lagi masalah di antara keduanya.

Tidak ada lagi pembicaraan, hanya suara denting sendok dan garpu dengan piring. Serta musik yang diputar oleh pelayan kafe.

***

Galih datang lagi hari ini. Setelah mengetahui Dera masuk kerja, ia dengan mengendarai mobil mamanya ke kantor perempuan itu. Berniat mengajaknya kencan, mengingat besok adalah weekend.

Setelah berhasil parkir dengan susah payah, Galih keluar dari jazz merah itu kemudian melenggang ke arah pintu masuk gedung. Kedatangannya disambut resepsionis dengan antusias. Hal itu sangat tidak asing bagi Galih yang memang mudah dapat perhatian di mana pun ia berada.

Sebelum duduk di sofa tamu, Ia memutuskan untuk mengobrol sebentar dengan perempuan cantik yang berdiri di balik meja resepsionis itu. Melempar senyum memesona, “Sore, Mbak cantik. Sendirian aja. Temannya di mana?”

Perempuan dengan riasan wajah menawan itu tersipu malu. “Sedang ke toilet, Mas. Mau jemput Mbak Dera lagi?” tanya perempuan itu yang dijawab dengan anggukan oleh Galih. “Kan Mbak Dera udah punya pacar, Mas. Kok masih dikejar aja. Apa Mas ini saudaranya Mbak Dera?”

Galih menggeleng. “Ya apa salahnya, Mbak. Lagi pula mereka belum menikah, kan. Dan lagi, saya ini cinta pertama Dera.” Mengerlingkan mata, membuat resepsionis itu hampir mimisan. Galih senang menggoda, meski di hatinya hanya ada Dera.

“Ah iri banget sama Mbak Dera. Hidupnya di kelilingi pangeran dari negeri dongeng. Tapi emang orangnya super baik sih. Mas Kafka juga naksir. Sedangkan saya? Satu aja nggak ada yang deketin.” Resepsionis itu memasang wajah melas.

“Kafka? Siapa dia?” Galih menatap serius perempuan itu. Yang mendapat tatapan malah salah tingkah. Tidak dipungkiri bahwa Galih memang punya pesona yang kuat hanya dari sekali melihat saja.

“IT di kantor Mbak Dera. Tapi kalau menurut saya, Mas Galih ini yang paling ganteng di antara pacar Mbak Dera dan Mas Kafka.” Galih terkekeh mendengar penuturan dari resepsionis itu.

“Ganteng itu relatif nggak sih, Mbak?” Hati Galih sedikit terganggu dengan fakta ada yang naksir Dera di kantor. Rupanya tidak cuma pengusaha itu saingannya, ada IT kantor yang bertemu setiap hari, bahkan satu ruangan dengan Dera.

***

Falling for You, Again (Tamat Di KaryaKarsa) Where stories live. Discover now