46 - mati sebagai gelap gulita.

1.3K 257 96
                                    


Sepasang ayah dan anak duduk berdampingan di atas ubin beranda yang terasa lebih dingin dari biasa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sepasang ayah dan anak duduk berdampingan di atas ubin beranda yang terasa lebih dingin dari biasa.  Atmosfer dipenuhi dengan campuran emosi, ketegangan yang nyata menggantung di udara. Mata mereka sekilas bertemu, dan untuk sesaat, tak satu pun dari mereka berbicara. Seolah-olah kata-kata mereka yang tak terucapkan bergema dalam kesunyian.

Awan lembut mengambang di atas kepala, menjadi tameng sinar mentari yang sedang terik-teriknya. Cuaca hari ini cukup remang, menebarkan bayangan lembut di raut muka, menyoroti garis pilu yang terukir di alis mereka.

Profesor Yunus berusaha tampil dengan tenang dan berwibawa. Namun, wajah tua itu adalah kanvas emosi. Kesedihan yang tebal tidak tersamarkan meski senyum lebar tengah melapisi. "Anakku, apa kabar?"

"Baik, Yah." Apa gunanya menjawab pertanyaan tersebut? Tante Hanafi sudah memberi tahu kondisi Dhanti yang sebenarnya sejak dua minggu lalu. Sekarang—tepat sebulan Dhanti tinggal di rumah Udin, sang ayah akhirnya menghampiri.

"Anakmu, apa kabar?"

Tatapan lembut sang ayah memberi beban pada lidahnya yang kelu. "Baik juga, Yah."

"Syukurlah," hembus Profesor Yunus. Sepasang mata tua menatap kosong udara di hadapannya, memerangi gemuruh dalam dada.

Mereka jatuh ke dalam keheningan yang dalam. Dua minggu yang lalu saat istri Haji Hanafi—tetangganya dulu—tiba-tiba mampir ke rumahnya dan menyampaikan kabar tentang si putri bungsu. Berita bahwa Dhanti menyembunyikan kehamilan dan bahkan telah melahirkan seorang bayi adalah pukulan terbesar di hidup Profesor Yunus. Detik itu, ia tidak bisa menahan perasaan bahwa ia gagal sebagai seorang ayah.

"Ayah sudah tahu?" Dhanti basa-basi.

"Iya, Nak," lirih pria paruh baya itu.

"Ayah ... gak marah?" tanya sang gadis dengan sedikit meringis.

Profesor Yunus menghela napas amat panjang. Segudang emosi menari-nari di hatinya. Dua minggu ini amat berat. Terlalu banyak emosi yang mesti ia cerna, ia bisa merasakan milyaran sel-sel otak meranggas akibatnya. Saat Ibu Hanafi mengabarkan betapa Dhanti selama ini berjuang sendirian, ia begitu merasa bersalah dan itu amat menyakitkan—ia harap ia boleh mati detik itu juga untuk kabur dari kenyataan.

Bukan hanya kenyataan bahwa kutuk keturunan itu nyata di hidupnya. Bahwa sejarah berulang itu benar adanya. Namun juga kenyataan bahwa ia bekerja begitu keras---siang dan malam ia dedikasikan untuk kesuksesan. Tanpa sadar keluarganya selalu ia kesampingkan. Sungguh, ia mencintai keluarganya lebih dari seluruh pencapaian. Tetapi cinta adalah omong kosong bila tanpa pembuktian. Betapa banyak sesak yang tidak terselesaikan, peluk yang terabaikan, dan air mata yang tidak diperhatikan.

"Ayah sangat marah dan sangat kecewa—" lirihnya, dengan kalimat menggantung.

Selepas Ibu Hanafi angkat kaki, Profesor Yunus menangis tanpa suara. Dia mempertanyakan dirinya sendiri, bertanya-tanya apakah dia terus menerus lalai hingga akibatnya sebesar ini? Apakah dia telah gagal membimbing Dhanti dengan kebijaksanaan yang dia yakini dia miliki? Ia tahu ia bukan ayah yang baik, tapi ia tidak pernah sadar bahwa ia adalah ayah terburuk sedunia—hingga hari saat ia mengetahui nasib Dhanti. 

Senji ✔️ | DAINTY vol. 1Where stories live. Discover now