BAB 2

13 1 0
                                    

Hari itu Benji berangkat lebih pagi dari biasanya. Dengan sangat hati-hati Ia keluar rumah agar tidak membangunkan Oma Noni yang masih tidur. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam, dan saat itu Ben tahu usahanya mengendap-endap untuk keluar rumah sia-sia.

"Ben! Jangan jalan dulu. Ketinggalan nih." kata Oma Noni sambil tergopoh-gopoh menyusul keluar membawa sebuah termos. "Hati-hati masih panas, pelan-pelan minumnya. Oh ya hati-hati naik motor, jangan suka masuk antara mobil apalagi truk. Sesama motor tuh jangan suka saling mendahului. Sabar aja antre. Hati-hati banget ya Benji. Makan yang bergizi di kantor, jangan asal kenyang saja ya Ben."

Benji hanya tersenyum lalu menerima termos itu dan memasukkannya ke dalam tasnya sambil mendengarkan mantra Oma Noni yang setiap hari dikeluarkan setiap Ben akan berangkat kerja. Konsistensinya cukup mengagumkan, hanya letak titik komanya saja yang terkadang berubah.

Oma Noni tidak muda lagi, rambutnya yang hampir tidak menyisakan warna hitam, kerutan di wajah dan dahinya memperlihatkan kerasnya hidup yang ia lewati di masa mudanya, tetapi kecantikannya tidak memudar.

"Iya. Oma juga hati-hati ya dirumah. Ada perlu apa-apa langsung hubungi Ben atau langsung minta tolong ke Bu Sum disebelah rumah." Seraya mengecup pipi Oma Noni lembut dibalas dengan sentuhan tangan Oma Noni di pipi Ben. "Ben pamit ya." Lalu Ben mengeluarkan motornya, dan tidak beranjak sampai memastikan Oma sudah masuk kedalam rumah dan menutup pintu.

Ben hanya tinggal berdua dengan Oma Noni di sebuah rumah di daerah Cilandak yang sudah ditinggali Oma Noni sejak muda. Ibu Ben meninggal ketika Ben masih SD, ayah Ben meninggal karena sakit keras ketika Ben baru saja lulus SMP. Kerabat Ben dari orang tuanya semua tinggal sangat jauh dan bisa dibilang mereka hampir tidak saling mengenal. Hanya Oma Noni yang Ben miliki sehingga Ben sangat menyayangi Oma Noni, begitu juga dengan Oma Noni.

Saat itu masih pagi benar, Ben sampai saat lampu kantor di lantai itu belum semuanya menyala. Ia duduk di mejanya sambil menikmati kopi yang disiapkan Oma Noni. Lalu ia pun memulai ritualnya setiap sebelum melakukan photoshoot.

Benji membuka tas kameranya, Ia mengeluarkan kamera dan lensanya dalam berbagai ukuran dengan hati-hati. Ia meletakkan kamera dan lensa tersebut di mejanya, ia membersihkan semuanya dengan sangat detail dan seksama. Satu titik debu pun tidak ia biarkan tertinggal di kameranya. Bagi Benji, melakukan semuanya itu seperti sebuah rekreasi untuknya, sesekali ia tersenyum puas.

Tak terasa waktu bergulir cepat setiap kali ia sedang merawat kameranya. Bahkan ia tidak menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri tak jauh dari mejanya dan sudah mengamatinya sejak tadi. Baru Ben tersadar saat ia hendak meregangkan kepalanya yang sejak tadi tertunduk.

"Selamat Pagi Aurelle."

"Pagi Ben." tanya Ale sambil tersenyum agak geli. "Kamu ngapain sih?"

Ben geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis. "Kenapa ga panggil?" balas Benji sambil merangkai kembali kameranya.

"Abis kayaknya lagi seru banget. Sampai ga sadar." kata Ale sambil tertawa. "Kamu bisa senyum-senyum sendiri kalau lagi bersihin kamera?" tanya Ale.

"Kadang-kadang. Tumben pagi datengnya?"

"Bangun kepagian hari ini. Dari pada tidur lagi, malah nanti kesiangan bangunnya."

"Ga bisa tidur maksud kamu? Itu kantung mata kamu nakutin banget." tambah Benji sambil sedikit melirik melihat ke arah Ale.

Mendengar itu Ale tertawa sembari duduk di kursi Pohan di sebelah Benji dan mengamati yang dilakukan Ben.

"Ben, kamu dari dulu suka foto, ga kepikiran mau bikin bisnis fotografi sendiri?" tanya Ale.

Apa Yang Kamu Cari Mungkin Tidak JauhDär berättelser lever. Upptäck nu