☀️Special Chapter 🌙

53.1K 1K 28
                                    


"Di antara banyak kisah dengan akhir bahagia, mengapa bukan kita salah satunya?"

***

Malam itu, semesta seolah menegaskan, tidak akan ada yang berubah di antara kedua insan itu. Tidak peduli seberapa keras usaha untuk meruntuhkannya, garis takdir tetap menuntun mereka pada suratan yang sama; perpisahan.

"Semua salahku."

Dua kata itu terdengar dari bibir Gladys. Memecah hening sekaligus membuka luka yang meradang. Luka yang telah begitu lama ia pelihara, tersimpan jauh di dalam lubuk hatinya hingga mati rasa.

Given, pencipta luka sekaligus penyembuh, mengulurkan tangannya. Meremas lembut telapak tangan Gladys, seolah berharap tindakan kecilnya mampu menyalurkan sedikit kekuatan. "Bukan salah kamu."

Nada menenangkan Given membuat pandangan Gladys kabur. Air matanya jatuh saat bibirnya berucap pelan, "Seharusnya, kita selesai waktu itu. Seharusnya, kita nggak perlu mengulang cerita yang sama. Seharusnya..."

Jeda mengambil alih cukup lama sebelum Gladys melanjutkan ucapannya. "Kita nggak pernah ada."

Kita nggak pernah ada.

Given tersenyum getir. Hatinya tersayat mendengar setiap kata yang terucap dari bibir Gladys. Namun, Given tidak sedikit pun membantah maupun menyalahkan pendapat Gladys. Sebab, jauh di dalam lubuk hatinya, tersimpan pertanyaan yang sama.

"Kamu bener, Glad. Mungkin kita memang sebuah kesalahan. Tapi, aku penyebabnya..." Given terkekeh. Kontras dengan netranya yang menyorot nanar. "Seharusnya, sampah nggak boleh jatuh cinta dengan tokoh utama."

"Given—"

"Seharusnya, aku nggak pernah melibatkan kamu dalam duniaku. Seharusnya, aku cukup jadi penonton yang menyaksikan kamu bahagia, bukan memaksa jadi salah satu alasannya. Seharusnya—"

Sebelum Given sempat menyelesaikan ucapannya, Gladys lebih dulu memeluk erat cowok itu. Menahannya menyuarakan penyesalan yang semakin lama semakin terdengar menyakitkan. "Kamu bukan sampah, Ven. Berapa kali aku harus bilang soal itu ke kamu?"

"Kamu terlalu baik, Glad. Selalu baik," Given menenggelamkan wajahnya di pundak Gladys. "Semua orang juga tahu, i don't deserve you. I don't deserve to be loved."

"Kenapa harus dengerin pendapat mereka kalau ada satu orang yang nggak pernah ragu sama kamu?" Gladys melonggarkan pelukannya. Kedua tangannya beralih menangkup wajah Given. "Kalau dikasih kesempatan buat mengulang cerita dari awal, perasaanku nggak akan pernah berubah. Aku tetep bakal pilih kamu untuk jadi satu-satunya tamu yang nggak akan pernah kuharapkan pulang."

"Tapi tadi kamu bilang..."

"Aku tadi cuma lagi berandai-andai. Seandainya aku nggak pernah memaksa apa pun, mungkin semuanya akan baik-baik aja. Walaupun kita nggak bisa jadi satu, setidaknya kita bisa menemukan kebahagiaan masing-masing," Gladys mendongak, menatap intens Given. "Tapi, aku nggak yakin bisa bahagia lagi kalau nggak sama kamu."

Gladys menyunggingkan seulas senyuman manis, kali ini tanpa paksaan. "Kalau nggak sama kamu, mungkin akhir cerita kita memang nggak akan serumit ini. Kalau nggak sama kamu, mungkin aku nggak akan pernah menyimpan luka sedalam dan sesakit ini. Tapi, kalau nggak sama kamu, aku juga nggak akan pernah tahu, ternyata di dunia, ada bahagia yang sepenuh ini."

Why ? [ SUDAH DISERIESKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang