143.

25 2 0
                                    

Untuk seseorang yang hanya berani kutatap punggungnya.

Kamu masih jadi tokoh utama yang selalu aku tulis. Mata teduh yang beberapa kali membuatku bertanya-tanya: kamu baik-baik saja? Tatapanmu seperti menyimpan banyak cerita, terlalu tak terbaca dan seakan aku bisa tenggelam ke dalamnya.

Hai si pemilik mata teduh. Rasanya kehadiranmu tak begitu berarti sampai akhirnya aku sadar bahwa terlalu banyak tanya tentangmu yang justru membuat pikiranku dipenuhimu. Hadirmu begitu singkat sampai aku menyesali waktu yang berlalu yang kubuang sia-sia. Alih-alih bertanya, aku justru tak mengindahkan kehadiranmu.

Hai si pemilik mata teduh. Walau singkat, aku ingin berterima kasih. Terima kasih telah hadir. Terima kasih telah membuatku sadar perihal perasaan yang berulang kali aku sangkal. Benar kata orang, bahwa penyesalan selalu datang di akhir.

Hai si pemilik mata teduh. Aku telah sampai pada titik di mana melangitkan doa untukmu adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan. Ketidak beranianku mendekat atau bahkan menghubungi lebih dulu benar-benar membuatku tak berdaya. Menunggumu memulainya? Ah, aku tidak berani berharap sejauh itu.

Rindu yang terkadang menyusup ke dalam hati memang begitu menyesakkan. Namun aku bisa apa? Berharap temu pun rasanya terlalu tak tahu diri. Sementara komunikasi saja bisa dihitung dengan jari. Pesan yang berakhir dengan hanya dibaca olehmu membuatku sadar bahwa bukan aku yang diinginkanmu. Lucunya, aku masih diam-diam berharap kepada Tuhan agar berbaik hati mempertemukanku denganmu lagi.

Entah bagaimana akhir tulisan tentangmu ini. Aku hanya akan terus berdoa semoga kamu selalu dalam penjagaan-Nya. Tentu saja aku akan belajar ikhlas. Pelajaran pertama yang benar-benar harus kulakukan. Yaitu ketika nanti akhirnya Tuhan mengirimmu kembali atau justru menerima ketika jarak antara aku denganmu yang semakin jauh lagi.

Hai si pemilik mata teduh. Aku merindukanmu.

PhosphenousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang