Bab 1

117 1 0
                                    

Penghujung tahun telah tiba, bulan dimana semua rangkuman kebodohan dan kesialan selama berbulan - bulan akhirnya berkumpul menjadi satu gumpalan batu besar yang menyerangku.

Rasanya aku ingin mati saja saat ini, aku sudah tidak tahan lagi rasanya menjadi sampah masyarakat yang selalu dijadikan bahan olokan dan cacian selama ini. Namun aku juga tidak bisa menyalahkan mereka karena ini semua adalah jalan yang aku pilih sendiri.

Andaikan aku bisa berpikir jernih sedikit saja, mungkin kejadiannya tidak akan seburam ini. Andaikan aku bisa membuka mataku sedikit saja, mungkin aku bisa sedikit lebih bahagia daripada saat ini.

Masa yang seharusnya penuh petualangan baru, diwarnai oleh tawa, persahabatan, dan pelajaran hidup yang akan membentuk kenangan manis memori sepanjang hidup berubah menjadi petaka karena kesalahanku sendiri.

Jalan yang aku lalui saat ini adalah getah dari semua kebodohanku di waktu itu. Mempercayai seorang manusia adalah sebuah penyesalan tanpa penghujung bagiku.

...............

"Tuhan, apakah aku mati saja.... Mungkin berkumpul dengan mereka akan membuatku sedikit lebih bahagia," gumam gadis itu dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

"Kau fikir Tuhan masih peduli dengan sampah sepertimu? Tuhan terlalu sibuk menyiapkan hukumanmu setelah kau mati nanti. Untuk apa Tuhan repot - repot memperhatikan seonggok sampah, masih banyak hal lain yang perlu Tuhan lakukan" ucap pria itu di iringi senyum mengejeknya.

"aku bisa membunuhmu sekarang juga jika kau mau? Lagi pula tidak akan ada yang peduli dengan hilangnya segumpal sampah dari dunia yang luas ini" tambah suara bariton dengan asap yang sesekali mengepul dari mulutnya.

Gadis itu hanya membalikkan badannya sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dengan tetap berlinang air mata.

"maka aku akan bersenang hati menerimanya" batin gadis itu yang tetap diam seribu bahasa.

"apakah kau bisa membunuh tanpa rasa sakit? Aku muak dengan segala kesakitan ini" suara gadis itu kembali terdengar lirih.

Pria itu kemudian terdiam sejenak menelaah kalimat yang baru saja masuk ke melewati telinganya..

"untuk apa aku memperdulikan perkataan sampah ini, buang buang waktu saja" gumam pria itu kembali sambil mencoba berdiri dan merogoh kantong celananya..

"aku tak sudi membayar mahal untuk pelayanan buruk kali ini, lain kali aku harus memperingatinya supaya jangan hanya mengutamakan wajah saja. Ini....." pria itu melempar beberapa lembar uang kemudian melangkahkan kaki dari ruangan itu.

"mungkin aku memang lebih baik mati..." isi kepala gadis itu memenuhi seisi ruangan yang terasa hampa dan dingin sejalan dengan matanya yang semakin tak kuasa menahan air mata yang terus mengalir. 

Badannya terasa remuk berkeping - keping, luka lebam di sekujur tubuhnya tak mampu menahan beratnya udara di ruangan itu, ia mencoba memejamkan matanya berharap bisa beristirahat sejenak menikmati kesunyian nuansa gelap yang semakin menggerogotinya kala itu....


Do you wanna Reset?Where stories live. Discover now