[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih

Start from the beginning
                                    

"Orabeoni..." Yeo Kyung kembali merintih. Lututnya terasa sangat lemas.

"Aku akan membawa Han pergi."

Suara berat itu menyeruak, membuat semua pasang mata tertuju padanya. Pada putra mahkota Wen yang baru saja bangkit sembari menggendong pangeran ke lima Goryeo yang sekarat dengan kedua tangannya. Raut wajahnya begitu datar dengan sepasang sorot mata yang kosong, ia bahkan tak mau melihat siapapun dan hanya berjalan lurus, mengabaikan semua orang.

Sakit. Sakit sekali. Rasanya sangat menyakitkan. Aku ingin mati. Biarkan aku mati.

Wang Han menangis diam-diam, tanpa suara.

Pangeran ke lima merasa seluruh tubuhnya mendadak terasa menyakitkan hanya dengan disentuh sedikit saja, dia bahkan ingin melolong karena Wen Fei Yu mengangkat tubuhnya, namun sayang sekali teriakan itu teredam karena tenggorokannya begitu kering seperti ingin putus.

"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, semua sudah berakhir." Suara Wen Fei Yu, begitu pelan, hingga hanya bisa didengar oleh Wang Han.

***

Son Je Ha sedang mengelap tubuh bayi Hwang dengan kain basah, membersihkannya dengan penuh kehati-hatian sembari bersenandung kecil, sesekali ia menggoda Hwang Jin Rong yang hanya mengerjap selama beberapa kali dengan mata hitamnya. Wajah yang kecil, bulu mata lentik, hidungnya mancung untuk ukuran seorang bayi. Benar-benar Hwang Je No.

"Apa kau mau digendong ayah? Bagaimana jika setelah ini kita jalan-jalan bersama dan turun gunung sebentar?" Kata wanita itu, mencolek hidung Hwang kecil beberapa kali.

Perempuan itu berdiri, setelah membuntel tubuh Hwang kecil dan menggendongnya— sejujurnya masih terasa cukup sakit baginya untuk banyak bergerak, tapi dia tidak boleh terlalu banyak berbaring.

"Hmmm," aroma khas bayi yang memabukkan, Son Je Ha tidak bisa berhenti untuk mengendus makhluk kecil dalam gendongannya itu.

Ketika dia keluar dari rumah hanok, sosok suaminya yang bertelanjang dada tampak memotong-motong kayu—lagi-lagi dengan Pedang Naga Emas, dia memotong kayu bakar untuk persediaan membuat api dan memasak. Tak jauh di dekatnya, terlihat kuda putih sedang memakan rumput-rumput liar, sesekali menjadi teman mengobrol Sang Panglima.

"Ayah~"

Dipanggil seperti itu, Hwang Je No langsung menoleh dan menegakkan tubuhnya. Dia sempat memerah wajahnya sesaat, namun ketika menyadari jika Son Je Ha rupanya mewakili anaknya, pria itu berdeham kecil.

"Kalian sudah bangun," Je No nampak sumringah, mengelap peluh di dahinya sekali.

Perempuan itu menggeleng, "aku tidak bisa tidur."

Mendengar respon itu, Hwang Je No menyandarkan Pedang Naga Emas di batang pohon, menghampiri istri dan anaknya dengan segera. "Mengapa? Apakah kau merasa tidak baik? Kau merasa sakit?" Dia melemparkan tiga pertanyaan sekaligus.

Son Je Ha tersenyum menggeleng, "aku baik-baik saja, Je No-ya. Hanya tidak bisa tidur."

"Mengapa begitu? Kau harus segera beristirahat agar segera membaik—"

"Aku sudah membaik, kok."

"Kau masih sakit, sayang."

"Tidakkk, aish kau ini! Aku sudah baikan tahu!" Wanita muda itu mendecak. "Dan kau, berhentilah memotong kayu, kau sudah memotong cukup banyak, Je No-ya."

"Eum..." Sang Panglima menggaruk tengkuknya.

"Lebih baik kita berjalan-jalan sebentar dan turun gunung— tidak terlalu jauh kok, Jin Rong ingin jalan-jalan." Son Je Ha mengusulkan sebuah ide dengan wajah cerahnya.

[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The PrologWhere stories live. Discover now