16. Suicide.

41 10 4
                                    

Sebab, bagiku mempertahankan keinginan untuk terus hidup itu sangat sulit.

*******

Selamat membaca.
With love, Ais.
-------


Carlyle bersenandung ria dengan tangan yang sibuk memasukkan sandal, sarung tangan, juga syal berbulu tebal ke dalam tote bag. Beberapa sachet minuman cokelat yang keluar dari plastik belanja yang ada di meja, menarik perhatiannya. Tangannya terulur meraih kemasan cokelat bubuk itu.

"Cokelat, kesukaan Hiranya," batin Carlyle. Netra hijau itu lalu menoleh pada Hiranya yang memunggunginya. Bibir tipis pria itu tidak bisa berbohong untung tidak tersenyum senang.

Carlyle mengambil 2 mug yang memiliki hiasan mata dan kumis kucing. Ia mulai menyeduh minuman cokelat itu. Perasaannya begitu senang.

"Awalan yang bagus untuk kegiatan di pagi hari," senandung Carlyle pelan.

Tangannya mulai sibuk mengisi air panas ke dalam mug. Seketika, aroma cokelat yang manis menguar bersamaan dengan kepulan uap panas. Ia menoleh ke arah balkon, ternyata Hiranya tengah menatapnya. Carlyle tersenyum riang. Walau wajah gadis itu terlihat pucat, tetapi di matanya ia tetap perempuan yang paling cantik.

"Tunggu sebentar, oke?" kata Carlyle pelan dengan tangannya yang mengangkat tote bag hitam. Sementara gadis itu terus saja menatap lekat Carlyle dengan tatapan yang sulit diartikan.

Carlyle menggelengkan kepalanya beberapa kali. Mengenyahkan asumsi-asumsi gila yang menghujani isi kepalanya. Tidak mau membuat Hiranya menunggu lama, segera ia kembali fokus mengisi mug satunya.

"Sip, selesai. Saatnya kencan pagi." Carlyle berbalik dengan senyum lembut dan mata berbinar yang menghiasi wajah imutnya.

Kedua tangannya melepas gagang mug, menciptakan suara pecahan yang mengisi ruangan sunyi itu. Kedua bibir yang semula terangkat kini menganga lebar. Netra yang semula berbinar, kini tampak meredup dengan air muka yang terkejut. Dengan kecepatan penuh, kakinya berlari. Meraih tubuh yang hampir merosot itu.

"Hiranya!" teriak pria itu dengan tangan kanan yang terulur, menarik kuat pinggang Hiranya. Sedangkan tangan kirinya ia pergunakan untuk melindungi bagian kepala gadis itu, agar tidak berbenturan langsung dengan lantai.

Carlyle masih memeluk erat tubuh Hiranya, setelah berguling di dinginnya lantai balkon. Pada kondisi seperti ini, pria itu sangat bersyukur karena memiliki tubuh yang lebih tinggi. Setidaknya, gadis yang berada di dalam kungkungannya itu bisa ia lindungi agar tidak benturan langsung ke lantai.

Carlyle membalikkan tubuh mereka. Kini gadis itu berada di bawah tubuhnya dengan mata yang berair dan tubuh bergetar. Tangan berurat yang menonjol itu bergetar. Terangkat, mengusap lembut pipi basah Hiranya. "Syukurlah, kamu enggak terluka."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Carlyle menunduk hingga wajahnya berada dalam ceruk leher Hiranya. Gadis itu dapat merasakan cairan hangat yang mengenai bahunya. Meleleh dengan deras di sana. Ia bahkan mampu merasakan getaran dari tangan yang kini memeluknya dengan erat. Hiranya memejamkan mata, membiarkan Carlyle menangis dalam posisi seperti itu. Sampai langkah kaki beberapa orang terdengar mendekat.

Hiranya masih memejamkan mata, tetapi ia tahu Carlyle dihempas kasar oleh seseorang.

"Lo apain Hiranya, Brengsek?!"

Suara yang sangat Hiranya kenal, kini terdengar kasar dan berisik di telinganya.

"Gue minta tolong sama lo, bukan buat ngeliat pemandangan kaya gini!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 29, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Semper Paratus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang