8. Senper Paratus.

74 51 31
                                    

Pelan-pelan.
Jangan terburu-buru.
Bagaimana pun,
aku akan selalu ada dan menunggu.

*******

Selamat membaca.
With love, Ais.
_______

"Apa Nona Hiranya akan baik-baik saja?" Kalimat itu Jeana lontarkan begitu keluar dari ruang rawat Hiranya. Padahal dirinya sendiri pun terluka.

Ega menggeleng sebagai jawaban. "Gue ... gue enggak bisa ngejelasin gimana. Tapi, baru kali ini gue liat orang sesakit itu. Bukan secara fisik, tapi ...."

Pintu lift terbuka, mengeluarkan Shiara dan Alam yang terkejut dengan kehadiran mereka.

"Dahi lo kenapa?" Alam bertanya begitu pintu lift kembali tertutup.

"Nona Hiranya tadi sempat histeris dan mm ... mengamuk gitu?" Jeana menjawab dengan nada ragu-ragu. Sebab, biarpun Hiranya terlihat mengamuk, di matanya justru gadis itu yang terlihat paling kesakitan dan menderita, seperti yang Ega katatakan sebelumnya.

Mendengar itu Shiara bergegas menuju kamar Hiranya. Alam pun ikut mengekori di belakangnya.

Shiara membuka pintu lantas menghampiri Hiranya, tanpa memedulikan Rion yang terkulai lemas di sofa. Wanita itu menggeser pintu kamar Hiranya dan membantu dokter menenangkan gadis yang masih histeris itu. 

Sedangkan Alam bergegas mengambil kotak P3K di kabinet dekat televisi.

"Obati luka lo dulu." Alam mengeluarkan suara begitu ia duduk di samping Rion. Tangannya terulur, menyerahkan kotak P3K ke depan pria yang tampak menyembunyikan raut wajahnya itu.

Rion tidak menggubrisnya. Pria itu masih menyembunyikan wajahnya dengan deru napas yang tersengal-sengal. Mau tidak mau, Alam memanggil seorang suster yang keluar untuk membuang sesuatu di dalam kantong plastik. Dari suaranya, tampaknya plastik hitam itu berisikan sebuah benda yang telah hancur.

"Gue ... berasa dilempar ke dua tahun yang lalu," kata Rion pelan disela-sela seorang suster yang sedang mengobati kakinya.

Alam menepuk pundak Rion pelan. Pria itu paham maksud Rion. Sebab, dua tahun yang lalu merupakan perkenalan pertama dirinya dengan Rion dan Hiranya. Dua tahun yang lalu merupakan kenangan yang sangat pahit bagi Rion. Dua tahun yang lalu dunia menjungkirbalikkan hidup Rion. Dua tahun yang lalu, mungkin untuk pertama kalinya Rion gagal sebagai seorang kakak laki-laki.

"Kalau Hiranya enggak pulih gimana?" tanya Rion masih dengan nada suara yang begitu rendah.

Alam percaya jika Hiranya akan segera pulih. Sebab, sebelumnya pun Hiranya sempat pulih. Alam percaya gadis itu bisa berjuang lagi. Bisa bangkit kembali. Namun, baik Alam, Shiara, Rion, ataupun orang-orang yang ada di sekitarnya hanya mampu menunggu. Menunggu Hiranya kembali pulang pada mereka. Menunggu gadis itu keluar dari dunia paralel yang menjebaknya. Dunia paralel yang tidak dapat disentuh orang luar. 

Pintu berderik. Shiara, dokter, dan suster keluar dengan ekspresi lega. Rion mendongakkan kepala, pria itu melangkahkan kakinya menuju ranjang di mana Hiranya terlihat tertidur pulas. Melewati dokter dan Shiara yang akan memberikan penjelasan tentang kondisi Hiranya.

"Kondisi Nona Hiranya baik-baik saja. Tidak ada luka secara fisik. Namun, kondisi mentalnya masih tidak stabil dan perlu perhatian khusus. Untuk lebih jelasnya, dokter Shiara yang akan menjelaskan," jelas dokter itu kepada Rion yang kini sibuk membelai wajah halus Hiranya. "Kalau begitu saya pamit dulu," lanjutnya.

"Baik, terima kasih, Dok, Sus," ucap Alam mewakilkan. Sebab ia tahu, Rion tidak mungkin menjawab.

Setelah dokter dan suster keluar, Shiara dan Alam mendekatkan diri ke sebelah Rion yang masih bungkam.

"Hiranya tadi hanya syok. Sepertinya karena Hiranya tidak mengenali bodyguardnya." Penjelasan Shiara membuat gerakan tangan Rion terhenti dan menatap nyalang ke depan.

Shiara yang menyadari perubahan itu dengan cepat berucap kembali. "Tapi, bukan berarti letak kesalahan ada pada para bodyguard tadi. Mereka belum tahu, kan, kondisi Hiranya belum stabil? Saya rasa mereka tidak mungkin melakukan hal tersebut dengan sengaja."

"Tetap saja, mereka yang memperparah kondisi Anya," sungut Rion tidak terima.

"Kondisi Hiranya tidak semakin parah. Hanya mengalami syok sesaat. Saya rasa enggak fair kalau kamu memarahi bodyguard Hiranya. Tindakan kebenaran dan kesalahan di sini abu-abu. Di matamu mungkin mereka membuat kesalahan. Namun, bagi mereka, mereka hanya menjalankan tugas. Ditambah, kita belum menceritakan secara detail terkait kondisi Hiranya sekarang. Jangan bertindak gegabah, Rion," balas Shiara yang membuat Rion bungkam. "Saya sama Mas Alam nunggu di ruang tamu, ya," lanjutnya yang dibalas anggukan oleh Rion.

***

Hiranya mengedipkan matanya beberapa kali. Deru napasnya kini tenang. Namun ada kekosongan yang menyelimuti hatinya. Kekosongan itu membuatnya merasa hampa. Seolah ia baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.

Mata Hiranya bergerak memindai langit-langit putih dengan sedikit ornamen abu-abu di pipirannya. Lalu sorot matanya kembali memindai ruangan. Tatapannya kini jatuh pada satu objek terdekat. Hiranya tidak memalingkan wajahnya. Ia terhipnotis oleh tatapan teduh yang diberikan oleh orang itu. Rion Akalanka. Pria itu menatapnya lembut seolah menunggu bagaimana dirinya akan bereaksi. 

Sejujurnya, Hiranya masih ingin menghilangkan pandangan mata itu. Melenyapkannya bersama sesuatu yang kini terasa hilang dari dalam dirinya. Melenyapkannya sebab, pupil hitam yang dimiliki oleh pria itu membuatnya teringat kepada seseorang. Seseorang yang sangat ingin ia benci.

Tetapi gadis itu merasa semua tenaganya raib. Maka dengan suara paraunya, ia bertanya, "Lo ke sini buat marahin gue karena lukain orang tadi?"

Untuk beberapa waktu Rion tidak menjawab. Ada keterkejutan yang terlukis di wajah kusut pria itu. "Enggak. Enggak mungkin abang marahin kamu. Abang tahu, kamu enggak bermaksud."

Hiranya tertawa sinis. Bagaimanapun seseorang selalu bersikap seolah tahu dan mengerti dirinya. Gadis itu sudah cukup muak dengan pernyataan empati palsu semacam itu. "Tadi gue bener-bener lukain dia, tuh. Gue bener-bener pengin dia hilang dari pandangan mata gue. Sekarang pun .... " Hiranya menjeda kalimatnya. Gadis itu mengepalkan tangannya sendiri sembari menggigit bibir bawahnya. "Gue pengin lo menghilang dari pandangan gue."

Ruangan itu kembali hening. Atmosfernya terasa lebih menyesakkan dan pengap dari sebelumnya. Bahkan ketika Hiranya tanpa sengaja tidak dapat menyembunyikan keterkejutan, saat melihat raut wajah Rion yang tampak terluka. Seolah tersadar, gadis itu dengan cepat membalikkan badan memunggungi Rion. "Pergi. Gue enggak butuh lo di sini."

Rion ingin membuka mulut, untuk mengatakan jika dirinya akan di sini lebih lama lagi. Namun, ia urungkan karena teringat dengan sesuatu. Pria itu berdiri dari duduknya. "Abang pulang dulu. Nanti ke sini lagi." 

Rion berdiam diri cukup lama. Menunggu respon Hiranya. Namun, gadis itu bahkan tidak menoleh sama sekali. Matanya hanya menatap nyalang ke depan dengan air mata yang menggenang nyaris tumpah. 

Rion mengulurkan tangan, mengusap rambut lepek Hiranya. Untuk saat ini, Hiranya tidak berteriak histeris saat melihatnya pun sudah cukup melegakan. Pria itu tidak akan terburu-buru. Ia akan mendekati Hiranya dengan pelan, agar adiknya itu tidak merasa tertekan.

"Jangan menangis. Maafin Abang." Setelah mengucapkan kalimat itu, Rion berjalan mundur sambil terus menatap sendu Hiranya yang berbaring memunggunginya. 

Tepat ketika tangannya hendak membukakan pintu, Rion berhenti sejenak. Dengan suara sedikit bergetar, ia berucap, "Kamu tahu, Abang bakal terus di sisi kamu. Abang bakal terus menyayangi kamu, bagaimanapun keadaannya. Jadi, pelan-pelan saja, Hiranya. Apapun pilihan kamu nantinya."

_______

Bagaimana kabarmu hari ini?

Terima kasih.
Sampai jumpa lagi.

-Ais.

Semper Paratus Where stories live. Discover now